Jumat, 13 April 2012

EDELWEISS AND SEPTEMBER chapter Five

#5. Someone like you—Wipe your eyes, please!

Aku marah pada Idi karena dia tidak memberitahuku bahwa Edel itu seorang dokter. Idi merasa tidak bersalah dan tidak pantas dimarahi karena memang aku tidak pernah bertanya padanya. Benar juga sih dan kenapa juga aku marah-marah karena hal itu? Mau edel itu dokter kek, arsitek kek, koki kek, guru kek atau bukan siapa-siapa sekalipun aku tidak peduli. Tapi masalahnya masa sih Edel yang bersamaku malam itu adalah seorang dokter muda yang cantik dan manis yang aku temui di rumah bi Aini? Astaga, aku belum mau percaya. Dan malam ini otakku dipenuhi oleh bayang-bayang Edelweiss, Edelweiss dan Edelweiss.
Minggu pagi kuputuskan untuk berolahraga ringan di depan kamarku. Beberapa kamar kos kosong, mungkin penghuninya pulang kampung. Hanya tinggal aku, Idi dan beberapa orang saja sehingga menjadikan suasana kos sepi. Tapi di luar ramainya minta ampun.
Setelah merasa cukup, aku istirahat di kursi rotanku [sebenarnya milik ibu kosku]. Aku melihat gerbang, kaget. Ada Edel di sana. Dia melangkah ke arahku. Dekat, semakin mendekat. Aku bangkit dari kursi kemudian masuk ke kamar. Niat menutup pintu, tapi tangan Edel menahannya.
“Ini kamar 09 bukan 07.”
“Aku ingin bertemu denganmu.”

Aku membuka pintu dan keluar kamar. Melihat kiri kanan kemudian mengunci pintu. Setelah itu kutarik tangan Edel,  terus dengan langkah tergesa sampai di ujung jalan kami menyebrang dan akhirnya duduk lega di warteg langgananku dan idi selama bi Aini sakit. Nasinya memang kurang lezat tapi jus jeruknya aku suka, maka sebelum mulai bicara aku memesan dua gelas jus jeruk.
“Kenapa mengajakku ke sini?” tanya Edel.
“Di sini lebih aman. Kau mau bicara apa? Sebaiknya cepat.”
“Terimakasih. Terimakasih karena malam itu kamu mau menemaniku.”
“Hanya itu?” tanyaku. Edel mengangguk. Aku mendengus. “Mengapa tidak bilang hanya mau katakan itu.”
“Kau menarikku kan tanpa memberikanku kesempatan bicara.” Dia membela diri dan dia benar.
Jus jeruk kami datang. Aku langsung meneguknya sampai habis. Ah, segarnya.
Setelah merasa segar aku mulai membuka pembicaraan lagi. Kali ini aku bertanya serius padanya tentang profesinya. Dia menjawab seperti yang aku duga. Dia benar-benar seorang dokter.
“Aneh, pertama kau merasa bahwa hanya dirimu yang suka serabi. Sekarang kau mau melarangku menjadi seorang dokter?”
“Bukan begitu!”
“Lalu?”
Aku terdiam. Lama. Edel melihatku, mungkin dengan tanda tanya besar. “Ada seseorang yang sepertimu,” kataku kemudian diam lagi. Aku menarik nafas kemudian kembali bicara. “Sebenarnya ini rahasia.”
“Tak apa jika kau tak mau cerita.” Edel berdiri.
“Tunggu!” Aku menahannya. Memintanya duduk kembali. “Namanya juga Edelweiss. Dia adalah dokterku di panti rehabilitasi.” Aku ragu ingin melanjutkan, tapi… “Aku mencintainya begitu juga dia. Namun aku sadar diri, seorang pecandu sepertiku tidak mungkin pantas untuknya. Sampai akhirnya aku sembuh. Namun itu tidak berpengaruh. Sekali dikenal sebagai pecandu akan selamanya seperti itu. aku tidak bisa melihat airmatanya. Oleh karena itulah aku pergi. Berpindah-pindah sampai sejauh ini.” Aku menarik nafas sekali lagi. Kali ini nafas lega karena sudah mengeluarkan kegalauanku. “Jangan katakan pada siapapun tentang ini. Aku takut tidak akan ada yang mau berteman denganku seperti sebelum-sebelumnya.”
Tiba-tiba Edel menangis. Aku panik. Apakah aku salah bicara? Mengapa Edel sampai menangis?
“Ru—di,” katanya terbata. “Rudi juga pecandu.”
Aku terbelalak.
“Tapi, dia tidak sepertimu. Kau begitu mencintai Edelweissmu sampai kau meninggalkannya. Rudi tak pernah mencintaiku tapi dia tidak mau melepaskanku.”
Aku menggenggam tangan Edel berusaha untuk merasakan apa yang dia rasakan. Aku biarkan ia menumpahkan semua perasaannya, walaupun aku tidak suka melihat perempuan menangis. Please, Edel. Hapuslah air matamu karena aku seperti melihat Edelku yang menangis.

0 komentar:

Posting Komentar

Janganlah menjadi JAELANGKUNG yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar dengan tidak meninggalkan jejak anda dengan berkomentar :D