Rabu, 04 September 2013

Alone



Aku pikir sendiri itu tidaklah terlalu buruk. Jika sendiri aku bisa melakukan apapun yang aku sukai tanpa ada yang melarang. Atau makan apa saja yang aku mau tanpa ada yang minta. Aku juga bisa mendengarkan musik dari playlistku sendiri tanpa ada yang marah karena mereka tidak suka musiknya. Ya, kadang aku pikir sendiri itu tidaklah buruk. Seperti keadaanku sekarang ini; sendiri, kosong, sepi. 

Kadang aku rindu—rindu dia yang selalu tersenyum pada semua orang. Senyum hangat yang memberikan semangat. Pernah aku ingin bertanya apakah dia pernah tersenyum untuk dirinya sendiri? Apakah dia mengetahui bahwa senyumnya itu indah dan memberi semangat? Tapi hingga di pergi aku tidak sempat bertanya tentang hal itu padanya. Dia juga selalu mengkhawatirkan apa yang aku makan. Dia mengomentari musik-musik yang aku dengar. Memberi pendapat tentang apa yang aku sukai. 

Dia dan aku bertolak belakang. Seperti dua buah lilin, aku adalah lilin biasa yang menyala di dalam rumah-rumah sederhana sedangkan dia adalah lilin mewah yang menyala di sebuah pesta. Namun setidaknya seperti yang dia pernah katakan kepadaku “Dalam mimpi kitta bisa bebas. Tidak perlu tertawa, tersenyum, merasa kesepian atau sebagainya.” Dia adalah pemuja mimpi. Ah, mungkinkah karena itu dia selalu bisa ceria? Sedangkan aku? Aku selalu sendirian seperti sebelum-sebelumnya. Entahlah, aku tidak tau akan mengisi kekosongan ini dengan apa. Aku tidak tau bagaimana cara mengisinya terlebih setelah dirinya pergi.

“Taraaaa… Ingatlah! Dunia ini kadang menyilaukan. Kadang kau melihat sesuatu seperti ini tapi ternyata itu bukanlah kenyataannya.” Itu adalah kata-kata terakhirnya untukku.

Iya, aku selalu melihat ke atas—melihat senyum dan keceriaannya. Tidak pernah melihat ke bawah—ke dalam dirinya. Dia yang terlihat indah ternyata rapuh. Mengetahui kenyataan itu rasanya lebih sakit dari apapun. Dia yang sebenarnya benar-benar sendiri bukan aku. Semua senyum semangatnya, kekhawatirannya, komentar-komentarnya juga pendapat-pendapatnya hanyalah ekspresi kesendiriannya yang dia perlihatkan dengan cara yang berbeda dariku.
Keadaan yang sekarang inilah yang merupakan kesepian—kesendirian. Kesepian yang sesungguhnya. Walaupun keadaanku sama saja seperti sebbelum-sebelumnya, Tapi tanpa dia, lilin yang mewah itu aku tidak mungkin terlihat. 

Ya, Aku pikir sendiri itu tidaklah terlalu buruk. Jika sendiri aku bisa melakukan apapun yang aku sukai tanpa ada yang melarang. Atau makan apa saja yang aku mau tanpa ada yang minta. Aku juga bisa mendengarkan musik dari playlistku sendiri tanpa ada yang marah karena mereka tidak suka musiknya. Ya, kadang aku pikir sendiri itu tidaklah buruk. Seperti keadaanku sekarang ini; sendiri, kosong, sepi. 

#Terinspirasi dari lagunya Aqua Timez-Alone 
 

Lirik Lagu Aqua Timez - Alone

Lagi-lagi Aqua Timez. Aku sungguh jatuh cinta dengan suara vokalisnya yang khas banget. Kedengerannya tuh kayak anime banget. Kali ini aku mau share lirik lagu Aqua Timez yang menjadi Original Sountrack di anime BLECH.
Tapi pasti kalian bertanya-tanya ya siapa sih Aqua Timez itu? Atau dari manakah asal mereka? Atau lain-lainnya. Nah, tentang pengenalan Aqua Timez akan aku bahas di postingan selanjutnya. Untuk sementara, foto mereka dibawah ini cukup ya :D


AQUA TIMEZ


AQUA TIMEZ - ALONE



oreta awai tsubasa
kimi wa sukoshi aosugiru
sora ni tsukareta dake sa
mou dareka no tame janakute
jibun no tame ni waratte ii yo

izen toshite shinobiyoru kodoku
uchigawa ni tomaru rousoku
nigi wa ubau ni koukana chandaria to wa urahara ni
tarinai kotoba no
kubomi wo nanide umetaraiin darou
mou wakaranai yo
semete yume no naka de
jiyuu ni oyogetara
anna sora mo iranai no ni
kinou made no koto wo
nuritsubusanakutemo
asu ni mukaeru no ni

Dia, November



Dia, Namanya November. Dia adalah satu-satunya orang spesial yang pernah aku miliki. Spesial—ya, sespesial ini. Aku pernah bertanya padanya mengapa dia tidak meninggalkanku saja dan mencari perempuan lain yang lebih sempurna. Lama dia terdiam setelah mendengar pertanyaanku. Matanya yang berwarna coklat susu tajam melihat mataku. Aku merasa tegang menunggu jawabannya. Lalu, tiba-tiba dia tersenyum. Perasaanku dengan ajaib mencair dan aku tersipu melihat senyumannya yang selalu kurasakan bagaikan sihir.
“Jika aku sudah memiliki yang sempurna, mengapa aku harus mencari yang lebih sempurna lagi?” katanya.
Wajahku memanas. Kata-kata itu terdengar indah sekali. Walaupun ini tidak adil untuk Ember, begitu aku memanggilnya.
“Tapi—tapi aku,” aku menunduk melihat diriku. Aku jauh sekali dari kata sempurna.
Dia mendekatiku kemudian berlutut di depanku. “Cinta itu bukan di sini,” dia menyentuh kepalaku. “Atau di sini,” dia menyentuh mataku. “Tapi di sini, April.” Dia menepuk dadanya. “Jika sudah di sini, tidak akan ada lagi yang bisa mengganggu gugat. Apapun itu. Bahkan masalah fisik sekalipun.”
Aku bahagia mendengar kata-katanya. Sekarang aku berani melihat matanya yang cerah. Dia selalu membuat aku terlihat sempurna. Ya, dimatanya aku ini mungkin selalu sempurna.
****
Kari ini seperti biasanya, Ember menemaniku ke rumah sakit. Dengan sabar dia menggendongku keluar dari mobil kemudian meletakkanku kembali di kursi roda. Kata-katanya beberapa waktu yang lalu membuatku lebih percaya diri saat bersamanya. Walaupun dengan keadaan yang kurang. Duduk di atas kusi roda tanpa satu kaki dan menggunakan alat bantuan mendengar. Dia seakan penyihir yang membuat aku selalu merasa sempurna.
****