Kamis, 11 Oktober 2012

SENJA UNGU


SENJA UNGU
Oleh: Wiladah Azzahra

Aku menatap perempuan itu. matanya bengkak dan tatapannya kosong. Dia tidak bisu namun tidak juga bersuara. Sudah hampir separuh hari dia diam mematung. Hanya kedipan, gerakan yang ia lakukan. Hampir separuh waktu juga aku berusaha menyelami pikirannya, namun aku tak mampu. Mungkin dia tidak berfikir. Mungkin pikirannya kosong.
Kereta ke delapan berhenti di depan kami. Aku pikir dia akan bergerak, membawaku masuk kereta. Namun dia masih mematung. Memandang lurus ke depan. Kosong.

Hari semakin meninggi. Aku masih setia duduk di sampingnya. Menghitung sudah berapa kereta yang kami lewati. Sudah berapa banyak orang yang melewati kami juga berapa kali perutku berteriak ingin disumpal dengan makanan.
Ketika senja sudah tampak, bersinar lembut pada gerbong kereta selanjutnya, perempuan itu bangkit dari kursi. Jilbab merahnya yang panjang melambai anggun di punggung.

“Ini kereta kita,” katanya tanpa melihatku.

Dia bergegas memasuki kereta. Aku mengekor di belakangnya.

Seperti biasa saat kami selalu menaiki kereta bertiga, ia mengambil tempat tepat di tengah. Menyimpan barangnya dengan hati-hati kemudian menikmati empuknya kereta express yang nyaman. Aku duduk di sampingnya. Mengikuti pandangannya yang jauh jatuh pada senja.

“Ibu,” suaraku bergetar.

Dia tidak melihatku. Tatapan matanya tetap pada senja.

“Kapan kita pulang?”

Jantungku berdebar menunggu jawaban dari bibirnya yang kering.

“Nanti jika senja tidak lagi Jingga, namun berganti ungu anggur yang anggun.”

Aku menatapnya lebih lekat lagi. ia masih memandang senja. Bibirnya bergerak pelan. Dalam hati aku menebak, mungkin ia tengah membaca mantera  agar senja tidak lagi berwarna senja namun ungu anggur yang anggun. Tetapi, keraguanku menepis, mungkin sebaliknya itu mantera untuk mempermanenkan senja yang jingga.

Aku membuka tas ranselku kemudian mengeluarkan kotak crayonku. Kuambil warna ungu anggur yang masih utuh. Dengan cepat aku menggoresnya di kaca jendela kereta. Perempuan itu kaget namun tidak menghentikan tanganku sampai akhirnya crayon unguku habis.

“Ibu, Senja sudah menjadi ungu. Ayo kita pulang. Ayah dan Cierra pasti sangat merindukan kita di rumah.”

Perempuan itu memelukku erat sekali. Dia menangis. Air matanya membasahi pundakku. Tidak ada kata-kata yang aku tunggu keluar dari bibirnya. Hanya isakan tangis yang tak bisa ditahannya.

Sementara itu, kereta yang kami tumpangi bergerak perlahan dan akhirnya semakin kencang. Sudah terlambatkah untuk kembali ke rumah? Sama seperti senja ungu yang mungkin tidak akan pernah ada?
*****

SEBUAH MOZAIK YANG HILANG




oleh:: Wiladah Azzahra


Lagi-lagi kau duduk di sana. Memandang keluar jendela dengan mata yang basah. Pandanganmu jauh tanpa titik tumpu, tanpa isi. Pikiranmu melayang mencari-cari sosok yang kau rindukan. Tapi, memorimu yang sudah usang itu tidak lagi kuat berkelana terlalu jauh.
Kau memejamkan mata. Menarik memorimu yang telah berkelana tanpa tujuan. Berhenti sejenak melepas penatnya memori yang baru kembali itu. Kau berdiskusi sejenak dengan memorimu yang telah tenang. Kemudian sepakat untuk berkelana ketempat yang tidak terlalu jauh. Ke tempat yang lebih pasti kau ingat di mana.
Hujan. Hujan kembali turun di saat kau duduk sambil memandang ke luar jendela. Matamu telah kering namun bau tanah basah segera menyeruak hidungmu. Memorimu menangkap sesuatu. Sebuah mozaik yang mungkin hilang dari ingatannya sedangkan kau masih mengingatnya. Memorimu yang tua tidak mampu lagi menyimpan semua mozaik-mozaik kehidupanmu, namun kau berusaha untuk tetap mempertahankan mozaik tentangnya. Sosok yang selalu kau harapkan muncul dari pintu gerbang bercat hijau lumut itu.
###
Kau berlari tergesa menghampiri seorang anak laki-laki yang menangis. Dia memegangi lututnya yang berdarah. Tangisnya semakin pecah saat kau ada di depannya. Sepeda kecil roda dua miliknya tergeletak tepat di sampingnya.
“Tyo, kenapa sayang?” Kau memeluknya. Mengelus kepalanya dengan sayang.
“Kaki Tyo sakit, Bu.” Anak laki-laki itu merengek.
Kau menggendongnya kemudian menenangkannya dengan senyuman. Tyo berhenti menangis. Dia bersandar di bahumu dan ikut tersenyum.
“Nah, kalau tidak menangis rasa sakitnya pasti hilang.” Katamu lembut.
Dia adalah hartamu satu-satunya yang paling berharga setelah suamimu meninggal. Ka begitu menyayanginga. Mendidiknya, membesarkannya serta selalu menjaganya dengan kasih dan sayang. Kau rawat dan jaga dia dengan hati-hati. Selalu memberikannya pupuk agama agar kehidupannya selalu lurus. Ya, kau berhasil membuatnya menjadi sosok yang baik dan penyayang. Kau berhasil.
###
Namun tidak setelah dia dating. Orang ketiga. Perempuan dengan paras cantik yang menjadi pelengkap hidupnya. Dan hari itu adalah hari terakhirmu bersamanya.
“Tyo, Tyo tolong ibu, Nak.” Kau merintih kesakitan.
“Astaga, Ibu. Ibu kenapa?” dia datang. Menghampirimu dan membantumu duduk di bibir ranjang. “Tyo kan sudah bilang kalau ibu butuh apa-apa panggil saja aku atau Mira.”
“Ibu Cuma mau ke kamar mandi.”
“Biar Tyo bantu.”
“Ibu bias sendiri.”
“Ibu.”
Kau menangis. Kau merasa tidak berguna setelah kakimu lumpuh. Kau merasa seperti beban untuknya.
“Aku akan bicara pada Mira agar dia berhenti bekerja dan merawat ibu di rumah.” Dia mencoba untuk menenangkanmu. Tapi, kau menolak.
Kemudian datanglah peremuan itu. Dia membentak dan mengatakan tidak sanggup merawatmu. Tidak ada yang membelamu tidak juga laki-laki yang duduk di sebelahmu. Air matamu jatuh. Hatimu sakit.
“Lebih baik ibu kita titipkan di pantai jompo saja.” Akhirnya perempuan itu membuat penawaran.
Kau diam. Matamu melihat Tyo, menunggu jawabnnya. Walaupun sebenarnya kau sudah pasti tau apa jawabannya. Laki-laki itu mengangguk.
Ya, itu salahmu. Seharusnya kau lihat dulu seperti apa perempuan itu. Atau mungkin memang cinta yang telah membutakan mata anamu terhadap dirimu sendiri.
###
Dan lagi-lagi kau duduk di atas kursi rodamu sambil melihat keluar jendela. Menunggu sosok yang kau rindukan muncul dari balik gerbang hijau lumut panti jompo. Air mata kembali mengalir di pipimu yang berkerut. Samar-sama diantara tirai-tirai hujan, kau melihat sosok itu mendekat membawa paying. Tersenyum ke arahmu.
“Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin dia mengingatku setelah satu tahun berlalu.” Kau membatin berusaha menepis bayangan sosok yang terlihat semakin mendekat itu.