SENJA UNGU
Oleh: Wiladah Azzahra
Aku
menatap perempuan itu. matanya bengkak dan tatapannya kosong. Dia tidak
bisu namun tidak juga bersuara. Sudah hampir separuh hari dia diam
mematung. Hanya kedipan, gerakan yang ia lakukan. Hampir separuh waktu
juga aku berusaha menyelami pikirannya, namun aku tak mampu. Mungkin dia
tidak berfikir. Mungkin pikirannya kosong.
Kereta ke delapan
berhenti di depan kami. Aku pikir dia akan bergerak, membawaku masuk
kereta. Namun dia masih mematung. Memandang lurus ke depan. Kosong.
Hari
semakin meninggi. Aku masih setia duduk di sampingnya. Menghitung sudah
berapa kereta yang kami lewati. Sudah berapa banyak orang yang melewati
kami juga berapa kali perutku berteriak ingin disumpal dengan makanan.
Ketika
senja sudah tampak, bersinar lembut pada gerbong kereta selanjutnya,
perempuan itu bangkit dari kursi. Jilbab merahnya yang panjang melambai
anggun di punggung.
“Ini kereta kita,” katanya tanpa melihatku.
Dia bergegas memasuki kereta. Aku mengekor di belakangnya.
Seperti
biasa saat kami selalu menaiki kereta bertiga, ia mengambil tempat
tepat di tengah. Menyimpan barangnya dengan hati-hati kemudian menikmati
empuknya kereta express yang nyaman. Aku duduk di sampingnya. Mengikuti
pandangannya yang jauh jatuh pada senja.
“Ibu,” suaraku bergetar.
Dia tidak melihatku. Tatapan matanya tetap pada senja.
“Kapan kita pulang?”
Jantungku berdebar menunggu jawaban dari bibirnya yang kering.
“Nanti jika senja tidak lagi Jingga, namun berganti ungu anggur yang anggun.”
Aku
menatapnya lebih lekat lagi. ia masih memandang senja. Bibirnya
bergerak pelan. Dalam hati aku menebak, mungkin ia tengah membaca
mantera agar senja tidak lagi berwarna senja namun ungu anggur yang
anggun. Tetapi, keraguanku menepis, mungkin sebaliknya itu mantera untuk
mempermanenkan senja yang jingga.
Aku membuka tas ranselku kemudian mengeluarkan kotak
crayonku.
Kuambil warna ungu anggur yang masih utuh. Dengan cepat aku
menggoresnya di kaca jendela kereta. Perempuan itu kaget namun tidak
menghentikan tanganku sampai akhirnya
crayon unguku habis.
“Ibu, Senja sudah menjadi ungu. Ayo kita pulang. Ayah dan Cierra pasti sangat merindukan kita di rumah.”
Perempuan
itu memelukku erat sekali. Dia menangis. Air matanya membasahi
pundakku. Tidak ada kata-kata yang aku tunggu keluar dari bibirnya.
Hanya isakan tangis yang tak bisa ditahannya.
Sementara
itu, kereta yang kami tumpangi bergerak perlahan dan akhirnya semakin
kencang. Sudah terlambatkah untuk kembali ke rumah? Sama seperti senja
ungu yang mungkin tidak akan pernah ada?
*****