Kamis, 11 Oktober 2012

SEBUAH MOZAIK YANG HILANG




oleh:: Wiladah Azzahra


Lagi-lagi kau duduk di sana. Memandang keluar jendela dengan mata yang basah. Pandanganmu jauh tanpa titik tumpu, tanpa isi. Pikiranmu melayang mencari-cari sosok yang kau rindukan. Tapi, memorimu yang sudah usang itu tidak lagi kuat berkelana terlalu jauh.
Kau memejamkan mata. Menarik memorimu yang telah berkelana tanpa tujuan. Berhenti sejenak melepas penatnya memori yang baru kembali itu. Kau berdiskusi sejenak dengan memorimu yang telah tenang. Kemudian sepakat untuk berkelana ketempat yang tidak terlalu jauh. Ke tempat yang lebih pasti kau ingat di mana.
Hujan. Hujan kembali turun di saat kau duduk sambil memandang ke luar jendela. Matamu telah kering namun bau tanah basah segera menyeruak hidungmu. Memorimu menangkap sesuatu. Sebuah mozaik yang mungkin hilang dari ingatannya sedangkan kau masih mengingatnya. Memorimu yang tua tidak mampu lagi menyimpan semua mozaik-mozaik kehidupanmu, namun kau berusaha untuk tetap mempertahankan mozaik tentangnya. Sosok yang selalu kau harapkan muncul dari pintu gerbang bercat hijau lumut itu.
###
Kau berlari tergesa menghampiri seorang anak laki-laki yang menangis. Dia memegangi lututnya yang berdarah. Tangisnya semakin pecah saat kau ada di depannya. Sepeda kecil roda dua miliknya tergeletak tepat di sampingnya.
“Tyo, kenapa sayang?” Kau memeluknya. Mengelus kepalanya dengan sayang.
“Kaki Tyo sakit, Bu.” Anak laki-laki itu merengek.
Kau menggendongnya kemudian menenangkannya dengan senyuman. Tyo berhenti menangis. Dia bersandar di bahumu dan ikut tersenyum.
“Nah, kalau tidak menangis rasa sakitnya pasti hilang.” Katamu lembut.
Dia adalah hartamu satu-satunya yang paling berharga setelah suamimu meninggal. Ka begitu menyayanginga. Mendidiknya, membesarkannya serta selalu menjaganya dengan kasih dan sayang. Kau rawat dan jaga dia dengan hati-hati. Selalu memberikannya pupuk agama agar kehidupannya selalu lurus. Ya, kau berhasil membuatnya menjadi sosok yang baik dan penyayang. Kau berhasil.
###
Namun tidak setelah dia dating. Orang ketiga. Perempuan dengan paras cantik yang menjadi pelengkap hidupnya. Dan hari itu adalah hari terakhirmu bersamanya.
“Tyo, Tyo tolong ibu, Nak.” Kau merintih kesakitan.
“Astaga, Ibu. Ibu kenapa?” dia datang. Menghampirimu dan membantumu duduk di bibir ranjang. “Tyo kan sudah bilang kalau ibu butuh apa-apa panggil saja aku atau Mira.”
“Ibu Cuma mau ke kamar mandi.”
“Biar Tyo bantu.”
“Ibu bias sendiri.”
“Ibu.”
Kau menangis. Kau merasa tidak berguna setelah kakimu lumpuh. Kau merasa seperti beban untuknya.
“Aku akan bicara pada Mira agar dia berhenti bekerja dan merawat ibu di rumah.” Dia mencoba untuk menenangkanmu. Tapi, kau menolak.
Kemudian datanglah peremuan itu. Dia membentak dan mengatakan tidak sanggup merawatmu. Tidak ada yang membelamu tidak juga laki-laki yang duduk di sebelahmu. Air matamu jatuh. Hatimu sakit.
“Lebih baik ibu kita titipkan di pantai jompo saja.” Akhirnya perempuan itu membuat penawaran.
Kau diam. Matamu melihat Tyo, menunggu jawabnnya. Walaupun sebenarnya kau sudah pasti tau apa jawabannya. Laki-laki itu mengangguk.
Ya, itu salahmu. Seharusnya kau lihat dulu seperti apa perempuan itu. Atau mungkin memang cinta yang telah membutakan mata anamu terhadap dirimu sendiri.
###
Dan lagi-lagi kau duduk di atas kursi rodamu sambil melihat keluar jendela. Menunggu sosok yang kau rindukan muncul dari balik gerbang hijau lumut panti jompo. Air mata kembali mengalir di pipimu yang berkerut. Samar-sama diantara tirai-tirai hujan, kau melihat sosok itu mendekat membawa paying. Tersenyum ke arahmu.
“Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin dia mengingatku setelah satu tahun berlalu.” Kau membatin berusaha menepis bayangan sosok yang terlihat semakin mendekat itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Janganlah menjadi JAELANGKUNG yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar dengan tidak meninggalkan jejak anda dengan berkomentar :D