#2. Dag dig dug—Suara genderang atau …
Berkat perkenalan yang sangat memalukan, Bi Aini tidak pernah absen ke kosku. Baik membawakanku barang dagangannya –nasi bungkus dong tentunya– atau barang-barang pesananku: beras, sayur atau lauk. Karena sebenarnya aku lebih suka masak sendiri daripada beli. Tapi, setelah mengenal bidadari yang baik hati seperti bi Aini, kadang aku lebih memilih membeli nasi bungkusnya. Soalnya masakannya mirip-mirip masakan mamaku
***
“Kak Ember nggak kuliah?” Jumaidi, teman satu kos dan satu kelasku yang paling rajin.
“Kuliah dong, Dek.” Aku melihat jam tanganku yang sudah usang –saking tuanya jarum detiknya sudah hilang entah kemana dan aku tidak tau bagaimana proses hilangnya– . Ah, masih ada limabelas menit lagi. Dasar Jumaidi, rajin bener. Kadang-kadang malah tigapuluh menit sebelum jam masuk dia sudah ada di kampus. Tapi, aku suka berteman dengan orang pintar dan rajin seperti dia.
“Mau samaan?” tanyanya lagi. sekarang dia sudah ada di atas sepeda motornya.
Tanpa berkata apa-apa, aku masuk ke dalam kamar dan mengambil tasku kemudian memakai sepatu. Setelah mengunci kamar, aku naik di belakangnya.
Ya, aku masih kuliah. Pasti kedengarannya lucu. Di usia ke-25 tahun aku masih semester satu. Hanya ada satu alasan untuk hal ini dan aku tidak berminat untuk membahasnya. Kalian bertanya, aku akan menjawab no comment. Yang jelas aku tidak masalah menjalani kuliahku semester satu diusiaku yang tua ini.
***