Kamis, 08 Maret 2012

EDELWEISS AND SEPTEMBER chapter two

 
#2. Dag dig dug—Suara genderang atau …

Berkat perkenalan yang sangat memalukan, Bi Aini tidak pernah absen ke kosku. Baik membawakanku barang dagangannya –nasi bungkus dong tentunya– atau barang-barang pesananku: beras, sayur atau lauk. Karena sebenarnya aku lebih suka masak sendiri daripada beli. Tapi, setelah mengenal bidadari yang baik hati seperti bi Aini, kadang aku lebih memilih membeli nasi bungkusnya. Soalnya masakannya mirip-mirip masakan mamaku
***
“Kak Ember nggak kuliah?” Jumaidi, teman satu kos dan satu kelasku yang paling rajin.
“Kuliah dong, Dek.” Aku melihat jam tanganku yang sudah usang –saking tuanya jarum detiknya sudah hilang entah kemana dan aku tidak tau bagaimana proses hilangnya– . Ah, masih ada limabelas menit lagi. Dasar Jumaidi, rajin bener. Kadang-kadang malah tigapuluh menit sebelum jam masuk dia sudah ada di kampus. Tapi, aku suka berteman dengan orang pintar dan rajin seperti dia.
“Mau samaan?” tanyanya lagi. sekarang dia sudah ada di atas sepeda motornya.
Tanpa berkata apa-apa, aku masuk ke dalam kamar dan mengambil tasku kemudian memakai sepatu. Setelah mengunci kamar, aku naik di belakangnya.
Ya, aku masih kuliah. Pasti kedengarannya lucu. Di usia ke-25 tahun aku masih semester satu. Hanya ada satu alasan untuk hal ini dan aku tidak berminat untuk membahasnya. Kalian bertanya, aku akan menjawab no comment. Yang jelas aku tidak masalah menjalani kuliahku semester satu diusiaku yang tua ini.
***

Baru Jumaidi saja temanku di kos maupun di kampus. Dia memang baik dan sangat baik, apalagi dalam urusan tugas kampus. Kami selalu mengerjakannyya bersama. Seperti malam ini, kami mengerjakan tugas matematika dasar di kamar kosku.
“Kak Ember, jangan duduk di bibir pintu. Pamali lo!” Idi sok care padaku. Padahal dia biasanya nongkrong di depan pintu kamarnya.
Baru saja aku mau membalas kata-kata Idi, seorang perempuan masuk gerbang kosku. Dengan langkah pelan dan mata yang sayu ia berjalan menuju kamar 07, beda dua kamar dariku. Aku melihatnya terus sampai ia lenyap dari pandanganku dan BRAK, pintu kamar 07 itu tertutup keras.
“Itu pasti mbak Edel. Kalau pintu di banting gitu, berarti mbak Edel yang datang,” kata Idi.
“Edel?”
“Pacarnya Rudi, playboy cap kacang dua tikus.” Idi melihatku. Aku juga melihatnya. Dia melupakan tugas yang tadi serius dia garap. “mbak Edel itu sebenarnya perempuan cantik. Tapi Rudi hanya memanfaatkannya. Kasihan mbak Edel. Dia jadi payah gitu gara-gara Rudi. Pasti deh mereka bertengkar lagi.”
Aku menyimak dengan seksama cerita Idi. Aduh, seharusnya kan aku tidak usah ikut campur. Apa untungnya coba? Tak lama perempuan yang bernama Edel itu keluar. Berantakan. Mata dan pipinya basah. Ia berlari menuju gerbang sementara kamar Rudi sudah tertutup lagi. Aku berdiri.
“Kak, mau ke mana?”
“Di, kunci motormu.”
“Mau apa?”
“Cepat!”
Idi melempar kunci motornya. Dengan langkah seribu aku menuju motor idi yang diparkir di depan kamar kosnya. Perempuan itu sudah tidak ada di gerbang. Ah, bodoh! Mengapa aku melakukan ini?
Akhirnya aku meyakinkan diriku untuk tidak berharap lebih banyak selain membantu perempuan malang itu. Aku berhenti di sampingnya. Dia belum jauh ternyata. Langkahnya berhenti. Dia melihatku.
“Ojek, Mbak?” Bodoh! Kenapa kata-kata itu yang keluar? Namun tak apa karena perempuan itu mau juga naik. Perlahan. Setelah motor melaju dia menyandarkan kepanya di punggungku. Waduh, aku seperti mendengar genderang, eh bukan, ternyata jantungku yang berdebar. DAG-DIG-DUG.
“Maaf Bang, saya pinjam punggungnya sebentar. Nanti saya bayar lebih.”
Aku tidak menjawab. Selain tak bisa mengontrol jantungku, aku hanya ingin dia merasa nyaman.

0 komentar:

Posting Komentar

Janganlah menjadi JAELANGKUNG yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar dengan tidak meninggalkan jejak anda dengan berkomentar :D