Kamis, 22 Maret 2012

EDELWEISS AND SEPTEMBER chapter three

 
#3. Kamu manis kataku—Kamu memang manis kayak serabi
“Udah Mbak, jangan nangis lagi. Saya paling tidak bisa melihat perempuan nangis. Rasanya gimana gitu.”
Edel menyeka matanya dengan saputangan yang aku berikan. Dia memandang jauh ke depan. Bodoh, seharusnya aku tidak di sini melihat perempuan ini menangis tapi di kamar kosku mengerjakan tugas bersama Idi.
Aku sudah mengaku padanya kalau aku bukan tukang ojek. Anehnya dia tidak marah malah tidak percaya kalau aku ini bukan tukang ojek. Gila! Masak wajahku kelihatan kayak tukang ojek sungguhan? Aku juga sudah menjelaskan siapa diriku dan kenapa aku berbohong. Dengan senang hati dia memakluminya.
Sekarang aku yang merasa aneh. Kenapa ya perempuan baik selalu dan akan tercampakkan. Dan orang yang menyampakkannya itu adalah orang terbodoh di dunia. Termasuk aku. Aku adalah laki-laki yang bodoh.
Aku kaget ketika dia menyodorkan tangannya. Beberapa detik baru aku ngeh kalau dia mau berkenalan.
“Edelweiss,” katanya.
Deg-seerr. Jantungku nauk turun berdebarnya. Kok namanya Edelweiss? Sama kayak nama kok-kosanku. Eh, maksudku bukan itu. Namanya sama seperti mantanku.

“Ember, September.” Aku meraih tangannya.
Dia memuji namaku, katanya unik dan bagus. Ah, menurutku tidak begitu. Lebih banyak yang menertawai nama panggilanku daripada menyebutnya bagus apalagi unik.
Setelah memuji namaku dia bercerita tentang dirinya dan ujung-ujungnya dia curhat juga. Hal yang paling aku takutkan saat dekat dengan perempuan yang sedang galau hatinya adalah mendengarkan curhatannya yang kadang tidak bisa aku mengerti. Kata orang harus dimaknai dan dicerna dengan bahasa hati.
Curhatan Edel berhenti sejenak ketika seorang bapak bertopi koboi mendekati kami. Di tangannya ada dua piring serabi yang aduhai aromanya menusuk sampai tembus kebelakang punggungku.
“Ini serabinya Mbak, Mas.” Kata Si bapak penjual serabi.
Aku mengambil dua piring itu kemudian memberikan satu piring untuk Edel. Mendengar curhatan Edel membuatku lupa kalau sudah memesan serabi. Si bapak penjual pun pergi kembali ke gerobaknya yang ternyata tambah ramai.
“Kok kamu tau kalau aku suka serabi?” tanyaku.
Edel melihatku sambil mengerutkan kening. “Memangnya kamu saja yyang bisa suka sama serabi?” Dia balik bertanya. Aku menggeleng.
Sibuk menikmati kue serabiku, aku tidak merespon pertanyaan balik Edel.
“Serabi di sini paling enak. Manis, pulen,dan pas deh racikannya.”
Aku mengangguk menyetujui kata-kata Edel. Aku masih berperang melawan nikmatnya si kue serabi.
Edel melihatku. Dia tertawa. Terbahak.
Jengkel, aku berhenti memakan serabiku. Tapi, aku harus jujur kalau dia lebih manis tertawa daripada nangis.
“Kenapa?”
“Ada serabi di hidungmu.” Dia menyentuh hidungku dan mengambil remah serabi yang menempel betah di ujung hidungku. “Haha,” Dia tertawa lagi.
“Edel, aku boleh jujur nggak?”
“Apa?”
“Kalau kamu tertawa seperti itu kamu manis. Manis kayyak serabi ini.”
Edel bergeming. Senyumnya memudar. Ia memutuskan kembali tenggelam dalam serabinya yang masih lebih banyak daripada aku. Ya, mungkin dia tidak percaya dengan kata-kataku karena aku sama seperti Rudi, laki-laki. Atau mungkin dia tersinggung karena aku menyamakannya seperti serabi. Seharusnya aku bilang seperti bunga matahari ya. Ya sudalah, lebih baik aku habiskan serabiku saja secepatnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Janganlah menjadi JAELANGKUNG yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar dengan tidak meninggalkan jejak anda dengan berkomentar :D