Minggu, 15 Mei 2011

LET ME BEHIND YOU


Aku hafal sekali sosok belakang kak Antoni. Itu karena aku selalu berjalan di belakangnya. Dia  tegap, tinggi, dan punggungnya itu sangat gagah. Dia adalah putra terakhir dari tiga bersaudara, anaknya pak Iman tetanggaku. Kak Antoni ini adalah yang paling sederhana dibandingkan kedua kakaknya. Dia juga yang paling murah senyum dan yang paling rajin menyapaku sebagai tetangga dekat rumahnya.
 Setiap melihat punggungnya, mimpi konyol itu selalu saja memenuhi hati dan pikiranku. Walaupun aku tau itu pasti tidak akan pernah terjadi. Cuma satu kok harapanku setiap kali berjalan di belakang kak Antoni. Aku ingin sekali dia menggendongku di punggungnya. Hahaha…konyol banget kan? Tapi, aku benar-benar ingin. Dan aku selalu menikmati setiap langkah jika aku berjalan di belakangnya.
Pagi ini seperti biasanya, aku sengaja berlama-lama memasang sepatu. Aku menunggu kak Antoni melewati gerbang rumahku. Yang benar saja, nggak lama kemudian kak Antoni keluar dari rumahnya. Begitu dia melewati gerbang rumahku dia diam sebentar kemudian menyapaku dengan senyumannya yang khas itu.

Oh, so sweet!
“Pagi Aurel!”
“He (wajahku memerah) pagi kak Antoni.”
Dia pun berlalu dan aku bergegas mengejarnya. Tapi, aku tidak berjalan di sebelahnya melainkan di belakangnya. Sering sich kak Antoni menawarkan untuk berjalan sejajar dengannya. Tapi, aku menolak dan aku tidak mau memberikan dia alasannya. Aku hanya bilang padanya kalau aku lebih suka berjalan di belakangnya.
Kak Antoni menghentikan langkahnya. Dia berbalik ke arahku.
“Eh, kakak. Ada apa?” Tanyaku. Uuaaaah, aku gugup banget jantungku dag-dig-dug. Please, kak Antoni jangan siksa aku. Ayo berbalik lagi. Aku lebih suka melihat sosok belakangmu.
“Kayaknya lebih asyik jalan beriringan dech. Kita kan bisa mengobrol.” Kata kak Antoni.
“He, Aurel jalan di belakang saja.” Kataku. Ah, aku sangat terdesak. Kumohon pangeran tampanku! Jantungku udah nggak kuat. Jangan paksa aku.
“Lho, kok wajah Aurel memerah?” Tanya kak Antoni sambil melangkah mendekatiku.
Aduh, gawat! Kalau dia mendekatiku aku nggak bisa menahan semuanya lagi. “A…au…rel nggak apa-apa.” Jawabku sambil mundur perlahan.
“Aurel sakit ya?” Tanya kak Antoni lagi. Gawat, dia tambah mendekat.
“Nggak! Aurel nggak apa-apa!” Kataku berteriak. Dan sebelum kak Antoni benar-benar sangat mendekatiku, aku melarikan diri dari hadapannya. Aku berlari sekuat tenaga. Bahkan setelah sampai di sekolah pun aku tak berhenti berlari sampai akhirnya aku mencapai tempat dudukku yang nyaman. Kursi kayu berwarna hitam yang ada di samping jendela. Ah, akhirnya.
“Kamu kenapa Aurel?” Hana teman sebangkuku bertanya begitu dia duduk dibangkunya.
“Memangnya kenapa?” Tanyaku.
“Tadi aku menyapamu di tangga. Tapi, kamu malah lari terus.”
“Hm…” aku menarik nafas dalam-dalam. “Semua ini gara-gara kak Antoni. Aku nggak bisa terus-terusan begini kan, Hana?”
Hana tertawa.
“Lo, kok kamu ketawa?” Tanyaku heran
“Kak Antoni itu nggak salah. Jelas kan kalau yang salah itu kamu. Masak sich kamu serius suka ma kak Antoni yang sebentar lagi bakalan menjadi mahasiswa itu?”
“Memang salah ya?”
“Kita kan masih kelas empat SD. Ini masih terlalu dini, Aurel. Kita masih belum boleh mendekati cinta. Ada masanya lo. Kalau kita melanggarnya, ntar rasanya nggak seru lagi.”
“Kok kamu tau banget? Kita kan masih SD kok kamu dewasa banget?”
“He, kakakku yang ngajarin. Dia selalu menasehatiku seperti itu. Jadinya aku ketularan dech.”
“Tapi… ginama donk? Aku suka banget ma kak Antoni.” Kataku merengek pada Hana.
“Suka sich boleh. Tapi, jangan berlebihan.”
Kenapa ya perasaan ini muncul? Aku memang masih kecil dan belum boleh merasakannya. Hana memang benar. Ini belum waktunya untukku jatuh cinta. Tapi, aku tidak bisa membohongi diriku. Sebenarnya siapa yang salah? Aku atau kak Antoni. Ah, seandainya aku dilahirkan 7 tahun lebih cepat. Aku pasti tidak akan menolak jika kak Antoni memintaku untuk berjalan beriringan dengannya.
Sepulang sekolah, aku memutuskan untuk mengambil jalan memutar. Soalnya aku nggak mau ketemu kak Antoni di jalan. Bisa nggak ya aku menghindarinya. Sedangkan rumahku dan dia bersebelahan?
“Nah, ini ada mangsa.” Seorang anak laki-laki bertubuh besar berdiri di depanku.
“Eh, siapa kalian?” Tanyaku dengan perasaan takut.
“Kamu nggak tau kami ya?” Tanya anak laki-laki itu. Aku menggelengkan kepala sambil gemetaran.
“Kami ini gank Tora. Gank berandalan SMP YURIS. Gank yang paling ditakuti seantero daerah ini. Anak-anak SMA pun nggak ada yang berani mengangkat kepalanya di depan kami.” Kata yang lain yang paling tinggi tubuhnya.
Mereka berjumlah sekitar sepuluh orang. Tujuh diantaranya berbadan besar dan tegap dan tiga sisanya ada yang pendek tapi berwajah licik, gendut dan kelihatan dungu, dan yang terakhir berwajah tenang. Anak laki-laki yang sekarang ada di depanku adalah si pendek berwajah licik.
“Kamu anak SD Lingkaran ya? Wah, pasti banyak duitnya donk? Di sana kan yang sekolah anaknya orang kaya aja.”
“Nggak! Aku nggak bawa banyak duit. Udah abis aku belanjain.”
“Heh, masih kecil udah bohong. Bagaimana besarnya?” Dia membentakku.
“Kalian juga. masih kecil udah jadi orang jahat. Bagaimana ntar kalau udah besar?”
“Kamu berani melawan?” tanyanya. Dia mengambil tasku. Tapi, aku menariknya sehingga kami saling tarik. “Berikan!”
“Nggak mau! Ini kan tasku!” Kataku berteriak.
PLAK!!!
Dia menamparku. Ah! Rasanya sakit sekali.
“Huh, kalau dari tadi kamu tidak melawan. Kamu nggak akan mendapatkan tamparan itu.” Katanya kemudian tertawa. Teman-temannya yang lain juga ikut tertawa. Kecuali laki-laki tinggi dan berwajah tenang.
“Wah, dia menangis.” Kata si gendut.
“Dasar cengeng.” Kata anak laki-laki yang tadi memperkenalkan ganknya. Ternyata dia adalah bosnya. Soalnya si pendek memanggilnya ‘bos’.
“Lho, Aurel? Kok kamu nangis?” Sosok laki-laki tinggi dan tegap itu mendekatiku. Suaranya yang familiar membuat jantungku berdetak lebih cepat dari normalnya. Aku menghapus air mataku yang membuatku tak bisa melihat dengan jelas.
Ah… itu kan.
“Heh! Siapa kamu? Kalau kamu lewat sini kamu harus bayar pajak. Nggak peduli kamu anak kuliahan, SMA atau apapun.” Kata si pendek.
Kak Antoni nggak menggubris kata-kata si pendek itu. Dia malah mendekati dan membuat jantungku meledak.
“Lho, kamu mimisan juga. Aduh, kamu diapakan sama mereka? Udah, kamu nggak usah nangis lagi. Ini, pakai sapu tangan kakak untuk membersihkan wajahmu.” Kata kak Antoni. Dia membelai rambutku sambil menyodorkan saputangannya.
Aku menerima saputangan itu tanpa melihat wajahnya. Aku nggak tahan.
Kak antoni beranjak dari dekatku dan mendekati gerombolan itu. “Kembalikan tas Aurel.” Kata kak Antoni.
“Oh, jadi mau melawan kami?” Tanya si pendek.
“Nggak. Asalkan kalian mengembalikan tas Aurel.”
“Enak saja!”
“Hey, kalian ini pelajar kan? Kenapa tingkah kalian seperti ini? Apa guru kalian tidak mengajarkan etika atau bersopan-santun?”
“Guru kami memang mengajarkannya. Tapi, siapa yang peduli dengan makhluk sok pintar dan sok tau itu?”
“Kalian memang perlu di kasi pelajaran.” Tiba-tiba saja suara kak Antoni meninggi.
Dia menyerang anak laki-laki pendek itu. Dan dalam sekejap mereka pun terlibat duel satu lawan satu. Kak Antoni berkali-kali meninjunya tapi nggak kena, begitu juga sebaliknya. Kemudian, tiba-tiba saja si gendut memukul kepala kak Antoni dari belakang. Kak Antoni jatuh dan mereka pun menghajar kak Antoni bersama. Kecuali si bos dan si wajah tenang. Mereka diam saja. Curang mereka main keroyokan.
Setelah puas menghajar kak Antoni, mereka pergi dari sana. Sebelumnya si pendek mengumpat kak Antoni yang udah nggak berdaya. Dan memperingatkan aku kalau berani melawan akibatnya akan lebih parah dari ini. Rasanya semua pembuluh darahku ingin berontak melihat perlakuan mereka terhadap kak Antoni. Ah, ini semua gara-gara aku.
“A…aurel.”
“Ah, kak Antoni!” Aku mendekati kak Antoni yang tergeletak lemah.
“He, aku berhasil mendapatkan tasmu. Tapi, maaf kakak kalah melawan mereka.”
“Kakak bicara apa? Yang menang itu kak Antoni. Mereka kan curang main keroyokan.”
Kak Antoni tersenyum. Kenapa kak Antoni masih bisa tersenyum padahal kondisinya seperti ini?
“Maafkan Aurel ya kak.” Kataku.
“Tuh, matamu bengkak.” Kata kak Antoni.
*****
Aku membuka mataku. Langit-langitnya bukan langit-langit kamarku. Ini di mana ya?
“Nah, sekarang minum obatnya. Ini untuk menghilangkan rasa sakitmu.” Aku mendengar suara anak perempuan. Suara itu berasal dari sebelah. Mungkin karena hanya dipisahkan oleh tirai makanya suaranya sangat keras dan jelas terdengar.
“baiklah. Terimakasih ya, Sayu.”
Ah, itu kan suaranya kak Antoni.
Aku berusaha menggapai tirai itu kemudian menggesernya. Tidak salah lagi. Itu sosok yang sangat aku kenal. Sosok orang yang aku sukai. Kenapa dia bersama wanita lain?
“Lho, sudah bangun ya?” Perempuan itu melihatku dengan spontan aku menggeser lagi tirainya.
“Aurel? Kamu udah sadar?” Tanya kak Antoni.
Perempuan itu menggeser tirainya hingga pojok, sehingga sekarang aku udah nggak bisa menggapainya kecuali jika aku turun dari ranjang. Dan kak Antoni bisa melihatku dengan jelas. Kami berhadapan.
Dia tersenyum
“Kakak khawatir sekali saat tau Aurel juga pingsan. Kata dokter kamu syock. Tapi, sekarang udah nggak apa-apa kan?” tanya kak Antoni.
Ku mohon kak jangan melihatku. Jantungku rasanya mau pecah kalau kakak melihatku. Aku lebih suka jika kakak membelakangiku. Aku lebih suka melihat punggung kakak.
“Oh, iya. Kenalkan ini Sayu.”
“Hai, aku Sayu. Antoni sudah cerita banyak tentang Aurel padaku. Hm, ternyata Aurel itu anak yang manis ya? Aku ini pacarnya Antoni.”
Ha? Apa dia bilang? Pacar? Aku nggak salah dengar kan? Aku melihat kak Antoni dengan tatapan beri aku penjelasan. Tapi, sepertinya kak Antoni nggak mau ngerti karena dia hanya tersenyum. Sedangkan air mata yang ada di pelupuk mataku sudah nggak tahan mau keluar.
“Tolong tutup tirainya.” Kataku.
“Lho, memangnya kenapa?” Tanya perempuan itu.
“Tutup saja tirainya!!!” Kataku dengan teriakan yang keras.
Dengan cepat perempuan yang bernama Sayu itu menutup tirai pembatas itu. Setelah itu akupun menenggelamkan diriku dalam hujan airmata. Sepertinya aku patah hati. Tapi, ini kan masih terlalu cepat delapan tahun untukku merasakan patah hati. Aku masih kecil, wajar saja kalau kak Antoni tidak menyukaiku. Dia pasti menganggapku adik. Seandainya saja aku lahir di tahun yang sama dengannya. Kenapa selalu saja seandainya?
“Aurel, kanapa mata kamu bengkak?” Tanya mamaku.
“Eh… ah… nggak apa-apa ma.” Jawabku gagap.
“Kamu abis nangis? Nangisin apa?”
“Nggak apa-apa kok ma.”
“Kamu masih terlalu muda untuk bisa membohongi mama.”
“Beneran kok ma nggak apa-apa.”
“Oh, iya. Kak Antoni juga akan keluar dari rumah sakit hari ini.”
Aku tidak berkomentar.
“Kamu kok diam? Udah bilang terimakasih kan?”
“Aku ingin cepat pulang.” Kataku tanpa memperdulikan kata-kata mama. Aku turun dari ranjang rumah sakit yang sempit. Dari samping aku juga mendengar suara mamanya kak Antoni dan suara lembut  kak Antoni.
“Lho, Aurel juga udah boleh pulang ya?” Tanya kak Antoni. Kami berpaspasan di pintu keluar. Tepatnya bersamaan menuju pintu  keluar. Aku tidak menjawab pertanyaan itu.
“Aurel, kak Antoni tanya tuch.” Kata mama. Tapi, aku tetap diam.
“Ya sudah kalau begitu kak Antoni duluan ya!” Katanya.
“Kak Antoni.” Aku menghentikan langkahnya. “Terimakasih ya!”
Kak Antoni tidak berpaling melihatku. Untung saja, karena dengan begitu aku jadi bisa melihat sosok belakangnya yang sangat aku rindukan.
“Sama-sama.” Kata kak Antoni dan diapun pergi dari hadapanku.
*****
Semenjak hari itu, aku tidak lagi menunggu kak Antoni agar aku bisa berjalan di belakangnya. Kalau kira-kira aku dan dia akan jalan bersamaan, aku akan berlari agar tidak terlihat olehnya. Atau aku menunggunya dengan bersembunyi dulu, baru setelah dia jauh di depanku, aku akan berjalan menuju sekolah.
Tetapi, itu membuatku lebih tersiksa bila dibandingkan dengan mimisan gara-gara jantungku meledak. Aku jadi tidak bisa melihat sosok belakang kak Antoni yang kusukai itu. Aku benar-benar kangen sosok itu. Kenapa semuanya jadi seperti ini?
Namun, sore yang tak biasa itu aku tak tau mesti mengungkapkannya seperti apa. Begitu pulang dari belajar kelompok, aku mendapati sosok belakang yang sangat aku rindukan itu. Kak Antoni tengah duduk di depan TV.
“Oh, Aurel udah pulang. Maaf ya kak Antoni main PS nggak bilang-bilang.” Katanya sambil tersenyum.
“Kak Antoni ngapain di sini?” Tanyaku dengan jantung deg-degan yang kencang sekali. Bayangin hanya berdua?
“Papa dan mama Aurel kan pergi…”
“Iya, Aurel tau. Trus kak Antoni ngapain di sini?”
“Dengerin dulu dong. Papa sama mama Aurel minta kak Antoni untuk jagain rumah plus jagain Aurel. Kak Antoni udah buat makanan untuk Aurel. Soalnya katanya mama, Aurel suka laper sepulang dari belajar kelompok.”
Aku diam seribu bahasa. Kok tumben sich mama minta tolongnya ke kak Antoni. Biasanya sama tante Elisa juga bisa.
“Oh iya, katanya mamanya Aurel tante Elisa pergi arisan, makanya nggak bisa ke sini.”
“Oh, gitu ya!” Kataku tanpa melihatnya.
“Aurel masih marah ma kakak ya?” Tanyanya.
“Eh?”
“Tapi, kakak bingung. Salah kakak itu apa? Aurel mau kan kasi tau kakak biar kakak nggak bertanya-tanya terus.”
Aku nggak jawab.
“Kakak kangen lo momen jalan bareng kita ke sekolah. Aurel nggak pernah jalan di belakang kakak lagi.”
Aku masih membungkam mulutku.
“Mungkin gara-gara kejadian keroyokan itu ya? Padahal kakak udah latihan tae kwon do tiap minggu. He, ternyata bisa ditumbangin juga ya ma anak-anak SMP itu.”
“Udah!” Aku berteriak sehingga membuat kak Antoni melihatku dengan tatapan bingung. “Aku nggak marah ma kakak hanya karena kakak kalah. Siapapun bakalan kalah kalau dikeroyok ma orang-orang seperti mereka.”
“Terus kenapa Aurel berubah sikap sama kakak? Kita nggak bisa kayak dulu lagi ya? Kakak kangen sama Aurel yang ceria itu.”
“Aku… A…Aurel marah karena kakak udah punya pacar. Aurel sebel. Aurel nggak suka sama kak Sayu.” Akhirnya aku bisa juga mengeluarkan semua ini hatiku. Tapi aku nggak bisa membendung air mataku. “Hiks…hiks… Aurel sayang sama kak Antoni. Kenapa Aurel yang masih SD nggak boleh suka ma kak Antoni yang udah mau lulus SMA? Seandainya… seandainya…”
“Aurel…” Kak Antoni mendekatiku. Dia mengelus lembut kepalaku. Ah, jantungku… “kamu masih tertalu muda 7 tahun untuk jatuh cinta. Kakak mengerti perasaan Aurel. Soalnya dulu kakak juga pernah suka sama orang dewasa. Tapi, saat dia menikah kakak sadar kalau dia hanya menganggap kakak sebagai adiknya. Maaf kan kakak ya! Suatu saat Aurel pasti akan mengerti.”
“Tapi, Aurel sayang banget sama kakak.” Kataku merengek.
“Kakak juga sayang sama Aurel. Tapi, sayangnya beda. Ini sayang yang istimewa low!”
“Sayang seperti apa?”
“Sayang yang nggak akan pernah ada hentinya.” Kata kak Antoni
Deg! Jantungku tambah ngamuk berdetaknya.
“Nah, Aurel jangan nangis lagi ya!”
Ah, dia memelukku. Yah, pecah dech jantungku. Walaupun kak Antoni menganggapku bukan cewek yang akan dia jadikan soulmatenya, jantung ini tetap saja nggak mau tau. Dan inilah hasilnya.
“Lho, Aurel kok mimisan?” Tanya kak Antoni. Dia panic berlarian ke sana kemari mencari tissue. “Ini pakai tissue ini!” Katanya sambil mengelap mimisanku. Bukannya berhenti, mimisanku malah tambah banyak. “Aduh, kok bisa begini.”
“Abisnya, kakak memelukku sich.”
He, tunggu tujuh tahun lagi. Kalau kak Antoni belum menikah, aku boleh mendekatinya kan? Kalau sudah berumur 16 tahun aku sudah boleh jatuh cinta kan? Tapi, untuk saat ini yang paling penting adalah…
“Oh, jadi Aurel mimisan gara-gara kakak peluk?”
“Iya.” Saat itu wajahku dan kak Antoni memerah.
“Kalau begitu kakak nggak akan memeluk Aurel lagi.”
“He,…” Sebenarnya sangat ingin.
“Nah, kalau dirangkul kayak begini nggak apa-apa kan?” Kak Antoni merangkulku. “Lho, kok mimisan juga?”
“Mungkin lebih baik kak Antoni nggak usah mendekatiku.”
“Jadi…?”
“Inilah alasannya mengapa aku nggak mau berjalan beberiringan di samping kakak. Selain itu, aku juga lebih suka melihat sosok belakang kakak. Aku suka banget sosok belakang kakak.”
“Oh,” kak Antoni melongo mendengarkan kata-kataku. Akhirnya pertanyaanya selama ini terjawabkan sudah. Kak Antoni tersenyum.
Aku menghapus air mataku yang masih tersisa dan membalas senyuman manisnya.
*****
Keesokan paginya waktu sarapan, mama mengatakan hal yang sangat mengejutkan padaku. Mama bilang kalau semalam aku tertidur pulas di pangkuan kak Antoni. Dan yang paling mengejutkan plus membuat menyesal mengapa aku tidak terjaga. Yang menggendongku ke tempat tidur adalah kak Antoni. Waktu aku tanya aku digendong seperti apa, mama bilang kak Antoni menggendongku di punggungnya. Ah, itu kan keinginanku selama ini. Kenapa aku bisa melewatkan momen itu?
“Aurel, kita jalan bareng yuk!” Aku melongo dari ruang makan. Wajah kak Antoni yang dihiaskan senyuman itu ada di depan gerbang.
“Iya!!” Kataku dengan semangat.
Sekarang, aku bisa menikmati lagi sosok belakang kak Antoni seperti biasanya. Hm… mungkin rang-orang akan berfikiran aneh kalau melihat aku dan kak Antoni yang mengobrol tapi nggak jalan beriringan. Bagiku, ini terasa lebih nikmat dibandingkan cinta, melihat sosok belakang kak Antoni. Hm… tapi, cinta itu rasanya seperti apa ya?
Hehehe… aku masih terlalu muda 7 tahun untuk bisa merasakan cinta.

0 komentar:

Posting Komentar

Janganlah menjadi JAELANGKUNG yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar dengan tidak meninggalkan jejak anda dengan berkomentar :D