Jumat, 13 April 2012

EDELWEISS AND SEPTEMBER chapter Four

#4. Aku maunya kamu, titik!—I miss you

Sudah tiga hari aku menahan rindu. Di hari yang ketiga ini aku bersumpah pada diriku untuk menuntaskan rindu. Tapi, bagaimana caranya? Aku tidak tau apa-apa. Rumahnya, keluarganya, tempat biasanya dia berada. Benar-benar blank. Mungkin ini yang dinamakan galau.
Sementara itu, Idi terus-terusan menesehatiku agar menjauh dari Edel. Dia khawatir kalau Rudi marah lantaran aku ikut campur masalah mereka. Idi mengatakan bahwa aku cari masalah atau cari mati. Ah, anak kecil! Masalah seperti itu tidak mungkin aku pusingkan. Edel memang manis tapi aku tidak berharap lebih jauh.
“Kak Ember mau ikut?”
“Ha?” Idi mengagetkanku yang tengah melamun. “Ke mana?”
“Ke warung depan. Cari makan. Atau kak Ember sudah masak?”
Aku menggeleng. “Kamu pergi saja, Di. Aku masih mau menunggu.”
“Menunggu?”
Aku mengangguk.
Idi melihat kiri-kanan kemudian bicara dengan nada berbisik, “Edel?”
aku menarik nafas panjang kemudian berkacak pinggang. “Bukan. Tapi Bi Aini. Sudah tiga hari tidak ke sini. Aku rindu nasi bungkusnya.”
Idi tertawa geli mendengarr kata-kataku. Dia pikir aku menunggu Edel. Padahal yang sebenarnya aku sangat merindukan senyum Bi Aini juga nasi bungkusnya yang lezat seperti masakan mamaku.
“Ah, kak Ember bisa saja.”
“Udah, sana pergi saja!”

             Idi pun pergi meninggalkanku dan aku kembali melanjutkan penantianku. Kembali melamun dan menahan kerinduanku akan nasi bungkus bi Aini. Pokoknya hari ini aku harus makan nasi bungkusnya bi Aini, titik!
Setengah jam kemudian Idi kembali. Aku masih ditempatku, menanti dan melamun. Idi segera menghampiriku begitu motornya terparkir ditempat yang benar.
“Bi Aini sakit, Kak.” Idi mengejutkanku.
“Apa?”
“Iya. Tadi aku nggak sengaja dengar percakapan mbak-mbak di pondok pelangi. Langganannya bi Aini juga kan?”
Aku menggaruk kepala sambil melihat Idi. Berharap ia mengerti maksud tatapanku.
“Aku tau kok rumahnya Kak.”
Akhirnya Idi mengantarku ke rumah bi Aini. Di kampung pinggiran sungai. Miris. Aku menelan ludah melihat rumah bi Aini. Dinding gedeg dan lantai tanah. Untung saja atapnya tidak bocor, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau atap rumah itu bocor kala hujan.
Aku masuk ke dalam sambil mengucapkan salam. Hanya ada tiga ruangan di rumah itu: ruang depan, kamar tidur dan dapur. Sebagian ada alasnya yang terbuat dari anyaman sedangkan sebagian lagi cukup hanya tanah saja.
Bi Aini kaget melihatku datang ke rumahnya. Dia menangis saat aku memeluknya dan mengatakan bahwa aku sangat merindukan senyum juga nasi bungkusnya. Aku merasa bi Aini seperti ibuku walaupun sebenarnya kelihatan lebih tua dari itu.
Tak lama kerabat bi Aini ikut duduk di ruangan depan. Anak-anaknya, cucunya juga saudaranya yang tinggal ttak jauh dari sana. Saat aku tanya apakah bi Aini sudah di bawa ke dokter, mereka mengatakan bahwa dokternya akan datang sebentar lagi.
Benar saja, dokternya datang lebih cepat dari dugaan. Tapi, aku kaget ketika melihat dokter perempuan itu. Edel? Penampilannya kok beda? Edel juga kaget melihatku. Astaga, Edel itu dokter ya? Kok dia tidak cerita malam itu?

0 komentar:

Posting Komentar

Janganlah menjadi JAELANGKUNG yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar dengan tidak meninggalkan jejak anda dengan berkomentar :D