Sabtu, 14 April 2012

EDELWEISS AND SEPTEMBER chapter Six

#6. Just a feeling—Need to see you

Ternyata Edel adalah mahasiswa kedokteran semesrter akhir. Ia harusnya wisuda tahun ini, namun gara-gara terbawa oleh masalah pribadinya, tugas akhirnya belum juga kelar. Aku bisa menebak kalau Edel itu cerdas hanya dari ceritanya. Dia adalah asisten dokter di rumah sakit umum, tempatnya praktik dulu. Sampai sekarang si dokter meminta Edel terus menjadi asistennya karena menurut dokter itu Edel sangat teliti.
“Harusnya kamu itu jadi orang hebat,” kataku.
Edel salah tingkah, rupanya ia tersipu dengan pujianku. Suasana sudah cukup menyenangkan karena Edel tidak lagi menangis. Sekarang dia meneguk jus jeruknya, tegukan yang terakhir karena sekarang gelas itu kosong.
“Mau lagi?” tanyaku. Dia menggeleng. Padahal aku masih bisa meminum tiga gelas jus lagi, tapi nggak enak dong kalau aku minum sendirian.
Sayup-sayup terdengan lagu Ipang-bintang hidupku. Ah, lagu yang selalu aku nyanyikan untuk Edelweiss waktu itu. Perlahan tanganku berpindah ke punggung tangan Edel. Dia kaget, hingga ekspresinya sedikit tersentak. Namun dia tidak menolak genggamanku. Secepat itu, matakupun memaku matanya yang berwarna coklat itu. Aku rindu Edelweissku. Sangat.
Aku slalu bernyanyi/Lagu yang engkau ciptakan/Kau nyanyikan/Dan aku slalu ikuti/Semua cerita tentangmu/Hari-harimu/Kau jadi inspirasiku/Smangat hidupku/Dikala aku sedih/Dikala aku senang/Saat sendiri dan kesepian/Kau bintang di hatiku/Apapun yang kau lakukan Baik dan buruk bagiku tetap indah/Tak satupun alasan untuk melupakanmu meninggalkanmu/Aku slalu berdiri mendukungmu/Dikala engkau terbang/Dikala engkau jatuh/Sampai mati kukan tetap setia/Aku slalu berdiri dibelakangmu/Dikala kau dipuja/Dikala kau dihina/Sampai mati kukan tetap membelamu…Kau tetap bintangku

Aku melepas tangan Edel dengan kata maaf saat lagu itu sudah selesai. Sejenak hening diantara kami. Aku menopang dagu dengan telapak tanganku sambil melihat ke luar warteg. Seperti angin, seorang perempuan melewati warteg. Tubuhnya yang aku kenal juga rambut hitam terurainya sepertinya wajah itu juga. Jantungku berpacu dan otakku berruha untu mempercayai bahwa itu memang dia.
Cepat-cepat aku merogoh kantong dan meletakkan uang sepuluhribuan di atas meja kemudian menyusul sosok itu. Edel menyusulku sambil memanggil-manggil namaku. Aku berlari ke segala arah, memeriksa satu persatu toko yang ada di sana, tapi dia tidak ada. Aku yakin itu memang dia.
“Ember, tunggu! Kau kenapa?” Edel mencengkram tanganku. Dia memegang dadanya sambil setengah bungkuk. Rupanya dia kelelahan mengikutiku berlari.
“Edel,”
“Ya?”
“Bukan. Maksudku, tadi aku melihat Edelku.”
Edel berdiri tegak namun dia masih memegangi dadanya. Tangannya pun masih mencengkram lenganku. “Di mana?” tanyanya.
“Tadi, melintas di depan warteg. Aku hafal cara berjalannya, sosoknya, rambutnya juga tubuhnya. Aku yakin itu dia.” Aku masih mencari-cari, melihat ke segala penjuru. “Kau percaya jika dia mencariku di sini?”
Edel tidak menjawab. Dia malah merapikan rambutnya. Mengatur nafasnya yang akhirnya kembali normal.
Aku tersenyum. Tidak, sebenarnya putus asa. Terlalu berharap. “Hah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Mungkin karena aku sangat merindukannya.” Aku mundur teratur, membiarkan diriku duduk jatuh di emperan toko.
“Ember, kuatkan dirimu. Aku percaya, Edel pasti mencarimu. Kekuatan cinta tidak akan pernah mati dan ia akan selalu tersambung dengan ini.” Edel meletakkan tangannya di dada, “dengan hati, Ember.”
Aku menunduk berusaha mencerna kata-kata Edel. Selama ini aku memang selalu merindukannya dan sangat ingin melihatnya. Namun demi kebahagiaannya, aku rela digerogoti rasa rindu ini. Apakah rasa rindu ini juga salah satu penghubung seperti apa yang dikatakn Edel? Edelweiss juga merindukanku?
Aku sampai di tempat ini karena ingin melupakan semuanya dan memulai segalanya dari awal. Kehidupan yang baru. Tapi kau Edel, kau menguak semua masa laluku. Bukan hanya karena namamu yang sama atau profesimu yang sama tapi juga caramu menenangkanku.
“Ayo kita pulang,” kata edel.
“Maaf, aku mau pulang sendiri. Kuharap kau juga mau pulang.” Aku berdiri dan berlalu darinya tanpa melihat wajahnya. Maaf  Edel, aku benar-benar hanya ingin sendiri saja.

0 komentar:

Posting Komentar

Janganlah menjadi JAELANGKUNG yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar dengan tidak meninggalkan jejak anda dengan berkomentar :D