Jumat, 08 April 2011

C.I.N.T.A 2


Rutin pukul 7 pagi semua anggota keluarga akan menikmati tontonan perang dunia ketiga gratis. Helena, kakak perempuanku yang bagaikan bom yang kapan saja bisa menghancurkan rumah berapi –api. Bakat temperamennya yang tinggi memang sudah terlihat sejak balita. Tidak bisa kalah oleh siapapun. Jikapun kalah maka kekalahan itu akan berujung dendam yang membatu di dasar hatinya.


Aku jadi ingat pertama kalinya kak Helena membawa kak Bayu –suaminya- ke rumah. Wajah bahagia kak helena kentara sekali dan tidak bisa disembunyikan. Di hari itu pun kak Bayu mengutarakan niatnya untu melamar kakak perempuanku satu – satunya itu. Bukan hanya aku tapi semua keluarga terkejut. Masalahnya kak Helena belum jua tamat kuliah dan kak Bayu baru wisuda. Namun cinta yang menjadi senjata ampuh kak Helena waktu itu. Cinta yang akhirnya mengantarkan kak helena dan kak bayu ke pelaminan.



Sekarang setelah 3 tahun membina bidak rumah tangga masihkah cinta yang membara itu ada di antara kak helena dan kak bayu? Aku bertanya – tanya, apakah cinta secepat itu pudarnya? Kukira apapun alasannya, cinta takkan pernah pudar dan berkurang. Kukira cinta adalah rasa yang paling kuat dan abadi di dunia ini.


“Aku mau cerai!!” Teriak kak Helena dari dalam kamarnya.


Mama dan papaku saling pandang di meja makan sedangkan aku berusaha sebisa mungkin untuk pura – pura tidak mendengar teriakan itu. Mama beranjak dari tempatnya menuju kamar kak Helena.


“Nak, buka pintunya. Kita musyawarah dulu sama semua anggota keluarga. Jangan menggunakan kata – kata itu sembarangan.” Kata mama yang berusaha menguping. Wajahnya ia tempelkan di pintu kamar kakakku.


Kak Helena membuka pintu. Dengan berurai airmata dia langsung memeluk mama. Mama memapahnya menuju meja makan. Dibelakang mereka kak Bayu mengikuti sambil menggendong Chaca, keponakanku yang berusia 2 tahun. Wajah kak bayu kusut dan payah. Sedangkan chaca selalu ceria seperti biasanya.


“Aku mau cerai sekarang juga.” Teriak kakakku lagi.


Kak Bayu melihat mama dan papa berharap kedua orang tua itu mau menenangkan anak perempuannya yang dari tadi bak singa kelaparan.


“Helen malu, Ma. Malu sama mama dan papa. Apa susah permintaan Helen? Helen hanya mau Bayu cari pekerjaan. Semakin tambah tahun Chaca tambah besar dan keperluannya tambah banyak. Masa Helen harus terus – terusan minta sama mama dan papa?” Rengek kakakku.


Panas menjalar keseluruh tubuhku. Aku benci suasana ini, topik pembicaraan ini.


“Seharusnya aku tau kalau kamu itu pemalas.” Kata kakaku mengatai kak Bayu.


Kak Bayu melihat kak Helena tanpa ekspresi. Tapi aku tau tatapan kak Bayu kosong, menerawang jauh kesetiap sudut hati kak Helena yang ingin ia masuki. Tapi tatapan itu pecah oleh tangis Chaca. Dengan sigap aku beranjak dan mengambil Chaca dari pelukan kak Bayu. Aku lega bisa pergi dari sana dari suasana kaku yang kuharap tak pernah menimpaku. Kalaupun harus semoga bukan aku yang menjadi peran utamanya.


Perdebatan kakak – kakaku terus berlanjut. Anehnya aku tidak lagi melihat api cinta di mata kak Helena. Mata itu terisi penuh kebencian. Dari kejauhan aku mendengar suara mama dan papa. Dengan lembut mama menasihati kak Bayu juga kak Helena. Mama juga mengingatkan bagaimana dulu cinta yang menyatukan mereka.


“Bayu masih bisa mencari pekerjaan, Helen. Nah sekarang kamu Bayu, jangan malas untuk melamar pekerjaan. Ingat Chaca yang semakin hari semakin besar. Mama dan papa masih ada adikmu yang menjadi tanggungan.”


Kak Helen memukul meja makan sambil beranjak dari tempatnya. “Mana mau dia? Kerjanya hanya tidur sampai siang.” Kak Helena kesal. Sepertinya kesabarannya sudah hilang dan rasa jengkelnya berada dipuncak ubun – ubunnya. Setelah kata – kata itu kak Helena berlalu dari meja makan.


Aku melihat Chaca yang ada di dalam dekapanku. Siapa yang akhirnya akan menjadi korban jika kak Helena dan kak Bayu bercerai? Jawabannya pasti Chaca.


****


Untuk sejenak perang dunia ketiga itu tertunda. Mungkin akan disambung kakakku lain waktu. Aku tidak tau. Yang jelas aku bahagia karena tidak akan mendengar keributan mereka barang sejam dua jam. Akhir pekan ini kami khususkan untuk mengunjungi mbah Pujo. Adik kandung papanya mama. Sudah hampir tiga bulan kami tidak mengunjungi beliau. Mbah pujo tinggal sendiri di rumah pusaka buyut. Karena beliau tidak memiliki keluarga semua sepakat kalau rumah pusaka itu ditempati mbah pujo.


Begitu sampai di halaman rumah mbah pujo, aku langsung berlari ke dalam. Mbah menyambutku dengan pelukan sayangnya. Selesai shalat asyar kami berkumpul di ruang tengah. Semua melepaskan kerinduan pada tujuan masing – masing. Aku pada mbah pujo. Mama pada kenangan masa kecilnya. Ayah dengan pengalaman pacarannya dengan mama di rumah itu. Serta kak Helen dan kak Bayu, karena di rumah pusaka itulah mereka menikah dulu.


“Mbah,” aku memulai pembicaraan sore itu. “Mbah kenapa tidak menikah lagi?” Tanyanku.


Semua mata memandang kearahku. Mata mama melotot seakan mengatakan ‘kenapa tanya hal itu?’. Aku memang belum tau apa alasan mbah pujo tidak mau menikah. Sampai – sampai di hari tuanya ia habiskan seorang diri tanpa ada yang merawatnya. Karena dari pernikahannya dengan mbah Putri beliau tidak di anugerahkan seorang anak pun.


Mbah pujo tersenyum. Wajahnya tampak senang dengan pertanyaanku. “Sudah lama tidak ada yang menanyakan hal itu, Lastri. Mbah belum cerita padamu ya?”


Aku menggeleng.


Tatapan mbah pujo menerawang ke langit – langit rumah. “Mbah pujo hanya mencintai satu orang di dunia ini.” Akunya. Mbah pujo menarik nafas dalam – dalam kemudian melihatku. “Dia itu ya almarhum mbah putrimu to nduk. Cinta pertama dan terakhir mbah.”


Aku tersenyum mendengar kata – kata mbah pujo. Sengaja aku mengerling kak Helen dan Kak Bayu. Kak Helena sepertinya marah padaku.


“Dia itu wanita yang benar – benar membuat mbah tidak bisa mencintai wanita lain. Mbah akan merasa pengkhianat jika mbah menikah lagi. Mbah putrimu tidak pernah mengeluh walaupun mbahmu ini belum bisa memberinya kehidupan yang layak waktu itu. Sampai dia sakit – sakitan mbah tidak bisa mengobati sakitnya. Itu adalah masa – masa terbahagia dalam hidup mbah. Tidak punya apa –apa tapi bahagia. Ikhlas nerimo to nduk.”


“Mbah putri pasti sabar sekali.” Kataku. Mbah mengiyakan dengan anggukan. “Masih sebesar apa cinta mbah?” Tanyaku. Mbah pujo melebarkan tangannya mengatakan padaku bahwa cintanya masih sangat besar pada mbah putri. “aku berharap kita semua akan seperti mbah pujo. Selalu dan akan saling mencintai apa yang kita miliki.” Kataku. Hanya mbah yang mengaminkan.


Selesai sholat magrib berjamaah, aku tidak sengaja menguping pembicaraan kak Helen dan kak Bayu. Betapa terkejutnya aku melihat mereka berpelukan dengan mesranya. Aku hanya mendengar kak Helen mengatakan :


“Mungkin aku harus bersabar seperti mbah putri karena aku mencintaimu.”


“Aku akan berusaha seperti mbah Pujo. Demi Chaca.” Kata kak Bayu


Aku memang tidak tau apa yang terjadi sebelum pembicaraan ini. Tapi sepertinya aku tau arah dari pembicaraan itu. Ya, Allah! Semoga perang dunia ketiganya berakhir. Kataku dalam hati dan berlalu dari sana.

0 komentar:

Posting Komentar

Janganlah menjadi JAELANGKUNG yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar dengan tidak meninggalkan jejak anda dengan berkomentar :D