Selasa, 05 April 2011

C.I.N.T.A


Entah mengapa tiba-tiba saja aku teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Semuanya itu berputar-putar di benakku seperti sebuah piringan hitam yang melantunkan musik klasik melankolis. Itu adalah waktu yang terindah yang aku miliki. Takkan pernah ada waktu yang bisa menggantikannya kecuali ALLAH memberikan kesempatan padaku untuk mengulangnya di surga nanti.

Pagi itu, aku lebih banyak melamun di depan meja riasku. Sebenarnya aku tidak sedang melamun, tapi berfikir. Namun aku bingung dengan apa yang aku pikirkan. Beberapa menit lagi seorang pria akan mengucapkan ijab kobul untukku. Dia adalah calon suamiku. Pria gagah yang ternyata sudah lama memperhatikanku. Itu yang dia katakan saat meminangku malam bulan purnama satu bulan yang lalu. Aku memang pernah melihatnya beberapa kali waktu ikut kajian di masjid. Tapi, aku sama sekali tidak begitu memperhatikannya.

Sebelum menerima pinangannya, aku bertanya : “apakah yang membuatmu menyukaiku dan memiliki keinginan yang besar untuk meminangku?”

Dia tersenyum. Melihatku sedetik kemudian berpaling. “semua wanita yang diciptakan ALLAH adalah bidadari. Yang membedakan mereka adalah sayapnya.”



Aku tak mengerti dengan jawaban yang dia berikan untukku. Aku ingin sekali melihat wajahnya. Beruntung kalau-kalau kami bisa beradu pandang barang sedetik seperti yang tadi. Tapi, aku tidak bisa mengangkat kepalaku.


“Afwan, ana tidak mengerti maksud akhi.” Kataku.


“Sayap anti yang paling indah diantara akhwat yang lain.” Katanya dan satu kalimat itu membuat jantungku berdegub kencang. Entah mengapa aku tidak tau.


“Maksud akhi, sayap apa?”


“Jilbab anti yang panjang yang selalu saja membuat anti terlihat cantik. Afwan jika ana terlalu memuji. Anti bertanya dan ana harus menjawabnya dengan jujur biar anti tidak bingung. Sayap yang ana maksud mungkin tidak terlihat. Itu seperti siluet di senja hari yang terlihat sekilas dan tidak semua orang bisa melihatnya. Anti seperti bidadari yang memiliki sayap emas keperakkan yang dengan melihatnya saja ana jadi merasa sejuk. Ana menyukai anti karena ALLAH. Bukan karena nafsu semata.”


Aku tersenyum. Tapi aku berusaha untuk tersenyum seadanya agar dia tidak melihatnya. Aku melihat ibuku yang duduk di sebelahku. Dia mengangguk sambil tersenyum. Itu artinya keputusan sekarang ada di tanganku.


Dengan membaca bismilah dan menyebut nama ALLAH dalam hati aku berkata: “Jika akhi memang yakin dengan semua itu dan memang mempunyai niat yang baik melangkah ke rumah ini, ana ikhlas lahir batin.”


Aku langsung mendengar dia mengucapkan Alhamdulillah dengan nada yang gembira. Orang tuaku dan orang tuanya juga mengucapkan Alhamdulillah.


Aku tau kalau suatu hari nanti yang entah diusiaku yang keberapa, akan ada seorang laki-laki meminangku. Karena itulah aku selalu meminta kepada ALLAH agar memberikanku laki-laki yang baik lagi soleh. Dan hari ini saat bulan purnama menyinari halaman rumahku dengan suka cita, seorang laki-laki baik dan soleh datang bersama orang tuanya kerumahku untuk meminangku. ALLAH mendengar doaku dan aku harus mengambil keputusan itu. Keputusan yang akan kujalani seumurhidupku untuk memenuhi sunah Rasulullah dan ridho ALLAH dunia akhirat.


Sejak lamaran itu, aku lebih banyak dirumah. Beberapa kegiatan organisasi aku kurangi, karena aku ingin menyiapkan pernikahanku. Selain itu, aku juga sangat sering berhubungan dengan calon suamiku, Ismail lewat HP. Kami memang belum boleh bertemu empat mata. Oleh karena itulah cara berkomunikasi kami melalui HP. Kata orang tua kami sebaiknya sebelum menikah lebih mengenalah dengan sedikit berkomunikasi.


Ismail adalah pria yang sangat romantis. Setiap dia mengirimkan SMS padaku, SMS pertamanya itu pasti sebuah puisi yang sanggup membuat pipiku merona. Sehingga kami lebih sering berbalas puisi daripada ngobrol lewat SMS. Mungkin, puisi yang dia kirimkan untuk selama satu minggu ini bisa dijadikan buku kumpulan puisi. He, dia hanya menjawab dengan kata “Insya ALLAH” ketika aku mengusulkan hal itu.

Zahra, kakak perempuan pertamaku menarikku dari alam lamunan. Dia berkacak pinggang sambil tersenyum.


“Lagi memikirkan apa, Ukhti? Bagaimana perasaanmu?”


“Sedikit cemas. Apa ini yang Ukhti rasakan waktu menikah dulu?” Tanyaku.


“Iya adikku sayang. Semua orang akan merasakan hal itu. Karena menikah hanya untuk sekali seumur hidupmu.”


“Iya, Ukhti. Insya ALLAH aku akan menjadi istri yang baik untuk Ismail.” Kataku. Kakakku tersenyum kemudian membelai jilbab panjangku dengan lembut.


Setengah jam berlalu. Aku masih berada di kamarku. Dari sini, aku bisa mendengar suara Ismail dan suara-suara orang yang aku kenal. Suara ayah dan ayahnya Ismail, tetangga sebelah rumah dan teman-teman ayah yang sering datang ke rumah. Sedangkan para tamu yang wanita berada di dalam ruangan, ruang tengah yang dibatasi oleh korden. Dan aku berada di dalam kamar bersama ibu, ibunya ismail, ketiga saudaraku dan beberapa temanku. Beberapa menit kemudian acara di mulai. Tapi, waktu ijab kobul akan dimulai, Ismail meminta sedikit waktu. Yang aku dengar dari dalam kamarku, dia ingin menyampaikan sesuatu kepadaku.


Kedua kakak dan adikku yang menemaniku dari tadi melihatku dengan tatapan bertanya. Ibu dan calon ibu mertuaku juga. kalau mereka saja bingung, apalagi aku. Sebenarnya apa yanga akan dilakukan Ismail? Sampai-sampai dia tidak mau langsung mengucapkan ijab kobul itu?


Jantungku berdebar-debar. Kecemasan yang tadinya 99% merambah fikiranku, sekarang sudah mencapai 200%. Aku juga jadi keringat dingin dan itu membuat bajuku basah.


“Dinda…” Tiba-tiba saja suara Ismail yang merdu itu menggema. Ah, rupanya dia mau bersajak dulu. Ismail menepati janjinya.


Semalam sebelum hari H, aku meminta Ismail membacakan puisi untukku dengan suaranya bukan mengirimkanku puisi dengan HPnya.


“sebulan yang lalu dimalam bulan purnama yang indah aku meminangmu. Itu semua atas izin ALLAH. Dengan tidak sengaja aku memintamu untuk menyempurnakanku, melengkapi tulang rusukku. Jika dinda adalah bidadari yang diturunkan ALLAH untuk menemaniku menghabiskan waktu, izinkanlah aku menjadi setiap pembuluh di nadimu. Menjadi bayang-bayang dalam setiap langkahmu. Menjadi detak dalam jantungmu. Menjadi senyum di bibirmu. Dan jika nanti sehelai demi sehelai bulu sayapmu jatuh, biarkan aku menggantikannya dengan cintaku karena ALLAH. Walaupun cinta yang dianugrahkan oleh ALLAH ini tidak seindah sayap dinda yang perak keemasan. Tapi ketulusannya sejuk sesejuk telaga-telaga jernih di lereng gunung. Dinda, aku meminangmu dengan bismillah.”


Ismail mengakhiri sajaknya. Semua mata memandang kepadaku. Aku bingung mau berbuat apa. Tapi, ayahku yang tiba-tiba saja masuk ke kamar memecah keheningan dan keteganganku.


“Ada yang ingin kau sampaikan anakku?” Tanya ayah sambil menyodorkan mikrofon padaku.


Aku mengambil mikrofon itu. Bingung mau bilang apa, tapi akhirnya aku bisa bicara juga.


“Kanda, ALLAH telah menjawab doaku saat kau datang meminangku di malam bulan purnama itu. Kandalah satu-satunya pria gagah berani yang datang ke istanaku untuk memintaku. Malam itu, dengan bismillah juga aku bersedia untuk menjadi pelengkap tulang rusukmu. Kanda, jika engkau malaikat penjaga yang diturunkan ALLAH untukku, maka bawalah aku dan simpan aku dengan mesra di hatimu. Jangan kanda lepaskan sampai nafas terakhir kita.”


Kata-kataku tertahan di tenggorokkan. Ayahku langsung mengambil mikrofon yang ada di tanganku. Padahal aku belum selesai bicara. Tapi, ah sudahlah.


Sebelum benar-benar mengucapkan ijab kobul, Ismail mengucapkan terimakasih untukku. Dia bilang sungguh beruntung mendapatkan wanita seperti aku. Dia tidak tau kalau di dalam hati aku juga mengatakan hal itu. Terimakasih tuhan, karena Engkau telah memberiku pria yang seperti Ismail.


*****


“Attin.” Suara itu membawaku keluar dari dunia maya. Ismail suamiku yang sudah empat puluh tahun menemaniku dengan cinta dan kesetiannya itu duduk di bibir ranjang. Tangannya yang sudah keriput mengusap-usap lembut keningku yang juga sudah tidak mulus lagi. “Sayangku…” dia bicara lagi. Suaranya tertahan. “kau ingat ini hari apa?” Tanyanya.


Aku menjawab dengan anggukan pelan dan senyuman.


“Malam ini, empat puluh tahun yang lalu aku meminangmu. Kau tau, ini juga malam bulan purnama. Kau ingin melihat bulan purnamanya?”


“Iya.” Kataku dengan nada lirih.


Ismail berjalan menuju jendela kemudian membuka jendela itu. Dari tempatku tidur, aku bisa melihat bulatnya bulan purnama itu. Ismail kembali duduk di bibir ranjang. Tapi, sekarang matanya sudah basah.


“Apa gerangan yang kau tangisi suamiku? Janganlah menagis seperti itu. Jika anak-anak kita melihat, mereka pasti ikut sedih.”


“Semua anak-anak sedang pergi. Aku sengaja menyuruh mereka, Attin. Karena aku ingin berdua denganmu malam ini.” Kata Ismail. Dia menggenggam tanganku.


“Kau menangis karena keadaanku?” Tanyaku.


“Iya.”


“Mengapa? Bukankah ALLAH yang memberi sakit ini?”


“Iya. Tapi, sudah sepuluh tahun kau tidak bangun dari tempat tidurmu karena tulang-tulangmu yang tak mau menopang tubuhmu. Kau terlihat lebih tua dari usiamu. Tapi aku benar-benar kagum padamu Attin.”


Ismail mencium keningku.


“Alhamdulillah. Apakah kau masih melihat sayapku yang indah itu, Ismail?”


Ismail tersenyum. “Masih.”


“Apa bulunya masih banyak?”


“Iya.”


“Itu pasti karena cintamu yang selalu menggantikan setiap helai dari buluku yang rontok. Aku masih ingat sajkmu itu.”


“Aku tidak akan mengingkari janjiku, karena aku telah berjanji dihadapan ALLAH.”


“Apakah kau akan ikhlas jika aku pergi lebih dahulu?”


“Iya. Aku ikhlas karena ALLAH. Dan aku akan menyimpanmu dengan mesra di dalam hatiku sampai nafas terakhirku. Attin istriku sayang, ucapkanlah syahadat yang bangak. “


Ismail menggenggam tanganku tembah erat. Aku tau kalau saat ini dia pasti sangat sedih. Akupun sangat sedih bila harus meninggalkanmu sendirian suamiku. Tapi tak ada satu orangpun yang bisa melawan kehendak sang khalik jika memang sudah waktunya. Jika engkau sudah ikhlas melepaskanku, akupun akan tenang seandainya saat ini juga ALLAH memanggilku.


Aku membaca kalimat toyyibah sebanyak-banyaknya. Ismail juga berdoa untukku. Sesekali dia berhenti berdoa dan bilang ingin membacakan sajak yang baru saja dia susun di hatinya untukku. Aku mendengarkan dengan seksama. Walaupun udah tidak berumur duapuluh tahunan, Ismail tetap romantis seperti dulu.


Attin sayang,


Lihatlah remah-remah cinta


yang sudah kita kumpulkan


dalam kotak indah waktu yang kita miliki berdua


isinya sudah hampir penuh


warnanya bertambah indah dan bercahaya


percayakah jika yang melukisnya


adalah kita berdua?


Attin sayang,


Kau bilang hidup adalah perjuangan


Perjuangan menuju kesempurnaan yang dijanjikan ALLAH


Aku percaya, karena engkau telah menyempurnakanku






Ismail berhenti sejenak. Dia mengusap keningku tanpa melihatku. Air matanya menetes perlahan.






Cintaku padamu takkan ada jika ALLAH tak ada


Dialah alasanku mencintaimu, sayangku


Dan sekarang saat kau terbaring diperaduanmu


Tidurlah yang lelap tanpa mimpi


Aku akan tetap di sini untuk menjagamu, sayangku


Sambil mengusap lembut keningmu


Sambil bersama-sama kita memujiNya yang Agung


Kita bercinta melalui dziki-dzikir untukNya


Kita rajut kenangan-kenangan itu






“Attin,”


Aku membuka mataku. Melihat Ismail yang matanya bengkak.


“Kau masih di sana Attin? Kau mendengar sajak-sajakku?”


“Iya, Ismail. Aku merasa seperti kembali ke hari itu.”


“Aku juga.”


“Setiap malam aku selalu berdoa agar ALLAH memberiku izin menemui Ramadhan tahun berikutnya. Apakah aku akan bertemu dengan Ramadhan tahun ini, Ismail?”


“Iya. Pasti.”


Aku tersenyum. Mungkin Ismail belum sepenuhnya rela untuk membiarkanku pergi. Aku kembali beristigfar dan Ismail membacakan ayat-ayat suci Al-Quran.


Mataku rasanya berat sekali. Aku memejamkannya karena sudah tidak kuat lagi. Padahal aku masih ingin melihat wajah Ismail sebentar lagi.


“Kau taka pa-apa, Attin?” Tanya Ismail. Dia masih mengusap keningku.


“Iya. Hanya saja, aku ingin memejamkan mataku.” Jawabku. Pelan-pelan tanganku memegang tangannya yang ada di keningku.


“Ada apa?” Tanya Ismail.


“Jangan usap keningku.” Jawabku.


Ismail menarik tangannya dari keningku dan dia memutuskan untuk menggengam tanganku.


Aku merasakannya. Udara dingin yang tiba-tiba datang ini pasti mengisyaratkan bahwa “dia” sudah datang dan ada di kamar ini. Ya, aku merasakannya dan aku mendengarkan ucapan salam hangat itu. Entahlah, suara salam itu menghangatkan kamarku bukan menakutkanku. Perlahan “dia” mendekat. Walaupun tidak membuka mata, aku melihatnya. “Dia” melewati Ismail yang masih terus mengaji sambil menggengam tanganku. Setelah berada di depat kepalaku, “dia berhenti dan mengucapkan salam lagi.


“ALLAH menitip salam untukmu wahai istri yang sholehah.” Katanya.


Aku tersenyum. Mendengar nama ALLAH yang “dia” ucapkan menggetarkan hatiku dan membuatku menangis. Perlahan-lahan, tangannya memegang ubun-ubunku. Aku udah tau kalau “dia” akan mengambilku dari sana, karena itulah aku meminta Ismail tidak lagi mengusap keningku.


Tak lama, aku mendengar Ismail memanggil-manggil namaku. Dia mengguncang-guncangkan tubuhku yang sudah tidak bernyawa itu. Ismail menangis. Dia memelukku sambil mengucapkan Innalillah…


Ismail mengusap keningku yang berkeringat. Kemudian menghapus air mataku yang membasahi pipiku. Dia tersenyum melihat aku pergi dengan senyuman kecil di bibir. Sambil berbisik aku ikhlas, dia mencium keningku.


Waktu adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa kita ulangi. Dan semua perbuatan kita dalam waktu itu adalah kenangan baik dan buruk. Maka berfikirlah setiap kali akan mengambil keputusan. Dan waktu yang aku miliki takkan pernah ada sesuatu apapun yang bisa menggantikannya. Kecuali jika ALLAH memberikan aku kesempatan untuk mengulangnya di surga nanti.

0 komentar:

Posting Komentar

Janganlah menjadi JAELANGKUNG yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar dengan tidak meninggalkan jejak anda dengan berkomentar :D