Minggu, 13 November 2011

CERPEN: FARHAN

FARHAN*
Wiladah El-Fairy Liandra

Pria itu akhirnya sadar kalau aku mengikutinya dari tadi. Dia berbalik kemudian bertanya padaku.
“Kamu ngikutin aku ya?”
Aku nyengir sambil melihat buku yang ada di tangannya.
“Apa ada yang salah?” tanyanya lagi.
“Buku itu,” jawabku sambil menunjuk buku yang ada di tangannya.
“Buku ini?”
Aku menggangguk.
“Boleh nggak aku yang pinjem bukunya? Soalnya, buku itu penting banget untuk menyelesaikan tugasku?” tanyaku.
“Oh, boleh banget!” jawabnya kemudian menyerahkan buku itu padaku.
“Terimakasih.” kataku sambil sedikit membungkuk saking senengnya. Kemudian akupun pergi dari hadapannya tanpa berkata apapun lagi. Tapi, di depan pintu perpustakaan pria itu menghampiriku.
“Ada apa?” tanyaku.
“Sebenarnya aku juga sangat membutuhkan buku itu. Mmm… buat tugas juga.”
Aku mendesah. Duh, apaan sih ni orang. Kan tadi bukunya dengan senang hati dia serahkan ke aku. Kok jadinya begini?
“Trus gimana dong?”
“Bagaimana kalau kita mengerjakan tugasnya samaan? Ini aku kasi nomer HP aku. Nanti biar kamu saja yang menentukan tempatnya dimana.” Dia menawarkan sebuah usulan.
Aku mengerutkan kening. Sepertinya dia memang benar-benar membutuhkan buku ini. Oke, tak ada salahnya belajar bersama. Akhirnya setelah bertukar nomer HP, pria itu meninggalkanku. Namanya bagus, Farhan.
****

Setidaknya aku mencari tempat yang ramai untuk mengerjakan tugas bersama Farhan setelah dia berinisiatif untuk belajar bersama dan hari ini dia menjemputku. Maka aku memutuskan untuk belajar dengannya di taman depan kampus. Tapi sialnya disana ternyata tengah berlangsung festival musik. Ini sih bukan ramai lagi, tapi sangat ramai dan ribut.
“Aduh, kalau begini sih kita tidak bisa belajar.” kataku.
Farhan berdehem. Aku melihatnya. “Aku tau tempat yang bagus. Kita ke sana saja. Mau?”
Aku berfikir. Dia tersenyum. Ah, senyumnya! Senyumnya manis sekali. Aku ikut tersenyum untuk mengimbangi senyum manis itu.
“Dimana?” tanyaku
“Aku nggak bisa kasi tau detailnya. Tapi, aku tau kok jalannya. Yuk!” Farhan kembali naik ke motornya. Aku mengikutinya duduk di belakang.
Angin menampar wajahku. Wangi khas dari tubuh Farhan kembali menyentuh hidungku. Walaupun jaket kulit tebal menutupi tubuhnya, wangi itu tak bisa dicegah menyerbu hidungku. Ah, aku suka cowok yang wangi, rapi dan banyak inisiatifnya seperti Farhan. Ya, ampun! Aku ini mikirin apaan sih! Tidak mungkin kan aku menyukai Farhan? Aku ketemu dia dua hari yang lalu dan hari ini adalah pertemuan kedua kami yang jelas-jelas tujuannya hanya untuk belajar bersama bukannya kencan.
Farhan berhenti di depan sebuah jembatan kecil. Di kiri kanan jembatan itu banyak terparkir sepeda motor. Aku turun dari sepeda motornya yang kemudian diparkirkan diantara sepeda motor lainnya yang ada di sana.
“Ayo!” dia memberiku isyarat dengan tangannya agar aku mengikuti langkahnya.
Wow! Farhan mengajakku ke sebuah danau yang di kelilingi pohon besar. Di satu sudut danau itu ada aula besar tanpa dinding. Sedangkan di kiri kanannya ada kursi dan meja yang terbuat dari kayu. Diantara pohon-pohon besar yang mengelilingi danau itu, aku melihat kabut perlahan turun. Indah sekali tempat ini. Farhan memilih duduk di kursi kayu yang ada di bawah pohon rindang. Aku ikut duduk di depannya. Tanpa ada basa-basi lagi Farhan langsung mengeluarkan tugasnya sedangkan aku masih ingin menikmati pemandangan indah yang ada di depanku. Aku tidak bertanya Farhan suka apa tidak jika aku memutar lagu. Tapi menurutku suasana indah seperti ini cocok sekali dengan lagunya Vierra.
Memandang wajahmu cerah,
Membuatku tersenyum senang,
Indah dunia,
Tentu saja kita pernah,
Mengalami perbedaan,
Kita lalui,
Tapi aku merasa,
Jatuh terlalu dalam cintamu,
Ku tak akan berubah,
Ku tak ingin kau pergi,
Selamanya...

Aku melihat wajah Farhan. Serius sekali. Seandainya aku tidak menerima tawarannya, aku pasti tidak akan pernah ke tempat ini. Mengenal Farhan, melihat senyumnya dan menikmati wangi tubuhnya yang khas.
“Suka Vierra?” tanyanya. Dia melihatku. Pas sekali mata kami beradu.
Deg! Jantungku berdebar dan menjadi salah tingkah. Aku mengangguk cepat menjawab pertanyaannya.
“Aku juga suka.” lanjutnya dan dia tersenyum. Lagi-lagi senyum itu.
Aku melotot tak percaya kalau Farhan menyukai Vierra yang identik dengan lagu sedih. Masa sih?
Tiba-tiba hujan turun. Dengan cepat Farhan membereskan buku-buku yang ada di atas meja kayu. Setelah itu dia dia menarik tanganku menuju aula yang ada di sudut danau. Orang-orang yang lainnya juga berteduh di sana sehingga aula yang tadinya kosong berubah seperti tempat penampungan banjir bandang.
“Astaga! Kunci motornya!” Kata Farhan panik.
“Dimana?” tanyaku.
Dia melihatku kemudian melihat kursi kayu yang tadi tempat kami duduk bergantian. Tanpa diperintah aku segera melesat menembus hujan mencari kunci motornya. Aku tak peduli dengan teriakannya yang memintaku kembali. Setelah lumayan lama mencari, aku menemukan kunci itu di salah satu kaki kursi. Ingin lari, badanku sudah basah kuyup. Ya sudah aku jalan saja menuju aula.
“Ya, ampun! Kamu ini nekat sekali.” kata Farhan. Kalau didengar dari nada bicaranya, dia khawatir padaku. “Nanti kamu bisa sakit.”
“ Nggak apa-apa. Nih, kuncinya.”
Farhhan mengambil kunci itu dari tanganku kemudian menyimpannya dikantong celana kainnya.
Hujan tambah menggila ditambah angin yang tak mau kalah membuat udara semakin dingin. Badanku mulai menggigil tak karuan. Rupanya badanku tak mau bersahabat dengan pakaian basahku. Farhan membuka jaketnya kemudian menutupi badanku yang basah dengan jaket itu. Deg! Jantungku rasanya mau copot saat dia melingkarkan tangannya di pundaku. Wangi tubuhnya kembali menyeruak dihidungku.
“Eh, nggak usah. Kamu aja yang pakai jaketnya.” kataku sok jaim padahal aku seneng banget.
“Nggak apa-apa. Kamu kan basah kuyup. Lagian kamu basah-basahan karena nyariin kunci motor aku.”
“Kalau gitu terimakasih.”
“Sama-sama”
“Oh, iya. Kamu pakai parfum apa? Kok wanginya enak banget?” tanyaku
“Parfum? Aku nggak pakai kok. Emang wangi ya?” jawabnya sambil menciumi badannya. “Nggak ada tuh biasa aja.”
Aku tertawa melihat tingkahnya. Berarti wangi itu memang benar wangi khas badannya.
Hujanpun beralih menjadi rintik-rintik setelah tigapuluh menit menanti di aula danau. Dari arah barat matahari bersinar dengan lembut. Walaupun tak seterik pada siang hari, cahaya lembut itu mampu melahirkan siluet tujuh warna yang indah. Aku memekik girang melihat kumpulan selendang bidadari yang melengkung indah itu.
“Nggak nyesel kan aku ajak ke sini karena rencana belajar kita gagal?” tanya Farhan.
Aku menggeleng. Kami memutuskan untuk menunda mengerjakan tugas untuk hari ini dan memilih untuk menikmati indahnya pelangi yang terlukis di atas danau. Tanpa sadar aku memeluk tangan Farhan. Dia tidak menolaknya. Aku bisa merasakan tangan itu hangat sekali.
***
Tiga minggu kemudian tugas kami selesai. Buku itu aku kembalikan ke perpustakaan dan secara otomatis pula Farhan dan aku sudah tidak ada urusan lagi. Tapi, Farhan masih rajin mengirimkan aku SMS. Entah itu hanya basa basi seperti bertanya sudah makan atau belum sampai yang bisa membuatku mengkerutkan kening seperti kamu sudah pacar atau belum? Hahaha…lucu.

satu jam saja ku telah bisa
 cintai kamu kamu kamu di hatiku
 namun bagiku melupakanmu
 butuh waktuku seumur hidup
satu jam saja ku telah bisa
 sayangi kamu di hatiku
 namun bagiku melupakanmu
 butuh waktuku seumur hidup

Lagu ST12 mengalun dari Handphoneku. Mataku berbinar melihat nama yang muncul di layar HP. Jantungku berdebar-debar.
“Halo?”
“Hylla, ni Farhan.”
“Iya. Ada apa?”
“Mmm…gini, aku…aku…”
“Aku apa?”
“Aku mau ngajak kamu jalan hari minggu besok.”
Deg! Jantungku berpacu lebih cepat lagi.
“Kamu mau kan? Oya, jangan lupa jaket aku ya! Aku jemput pukul 4 sore.”
“Oke, aku tunggu kamu.”
Telfon pun terputus. Aku melompat kegirangan mendapat ajakan kencan itu. Ya, kali ini ajakan kencan bukan belajar bersama lagi. Mataku jatuh menuju jaket Farhan. Aku mengambil jaket itu kemudian memeluknya. Farhan, sepertinya kau telah mencuri hatiku.
***
Minggu sore selesai sholat asyar aku segera bersiap-siap. Berdandan yang cantik dan memakai baju yang paling bagus. Tidak lupa aku memakai minyak wangi agar bisa mengimbangi wangi tubuh Farhan yang khas. Pokoknya kencan pertamaku sore ini dengan Farhan harus sempurna.
Aku menunggu di teras depan dengan perasaan yang berbunga-bunga sekaligus jantung yang berdebar keras. Sudah lewat setengah jam dari pukul 4 sore, tapi Farhan belum juga datang. Tigapuluh menit berikutnya Farhan belum juga muncul. Perasaanku jadi tak karuan. Kucoba menghubungi handphonenya tapi mailbox. Aku tambah cemas. Farhan, kenapa kamu belum juga datang? Apa mungkin kamu mengingkari janji yang kaubuat sendiri untuk sengaja mempermainkan perasaanku?
Tapi kemudian sosok Farhan muncul di depan pintu gerbang. Wajahnya pucat dan penampilannya agak berantakan.
“Maaf aku terlambat.” katanya sambil tersenyum.
Senyum manis itu mampu membuatku leleh sehingga semua kecemasan serta rasa jengkelku sirna. “Tak apa. Ayuk.” Aku segera naik ke motornya. “Mau ngajak aku ke mana?” tanyaku.
Farhan tak menjawab. Dia melajukan motornya dalam diam. Dalam posisi seperti ini aku menanti tamparan wangi tubuh Farhan yang dibawa angin menyeruak ke dalam hidungku. Tapi aneh, wangi itu tak ada. Walaupun aku bersikeras menghirupnya namun aku tidak jua mendapatkan wangi khas dari tubuhnya. Kenapa wanginya tiba-tiba menghilang?
Farhan kembali membawaku ke danau. Kembali mengajakku duduk di tempat yang sama. Semuanya terasa seperti de javu. Sesuatu yang pernah aku alami sebelumnya.
“Sebenarnya tadi aku hampir tak mau datang.” Farhan memulai pembicaraan.
“Kenapa?” tanyaku.
“Ada sesuatu yang membuatku tak bisa.”
“Kamu sakit ya? Tuh wajahmu pucat sekali. Tumben berantakan. Biasanya kan rapi. Oya, ini jaketmu.”
Farhan memberikanku senyumannya, “untukmu saja jaketnya. Aku sudah tidak memerlukannya.”
Aku memasukkan kembali jaket itu ke dalam tas. Sebenarnya aku berharap Farhan mau mengatakan sesuatu padaku. Misalnya “mau jadi pacarku?”, hahaha… tapi sepertinya itu adalah sebuah khayalan saja. Tidak mungkin Farhan menyukaiku.
“Nah, ini untukmu.” Farhan menyodorkan gulungan kertas padaku.
Perlahan kubuka gulungan berpita merah itu. Aku bergeming melihat siluet tujuh warna yang terlukis indah di atas kertas itu. Sebuah pelangi di atas danau. Di bawahnya ada seorang perempuan yang mendongak melihat pelangi itu sambil memeluk lengan pria di sampingnya. Aku tersenyum. Farhan merekam momen sore itu.
“Suka?” Tanyanya.
Aku mengangguk. Berharap akan ada kata lainnya yang mengiringi lukisan indah ini. Namun Farhan diam. Hah? Hanya itu? Aku masih menunggu tapi Farhan tetap diam. Matanya memandang jauh kelangit. Aku tak tau apa yang dipikirkannya.
“Simpan baik-baik ya.” Itu adalah kata terakhir yang dia katakan sebelum akhirnya kami memutuskan untuk pulang.
***
Keesokan harinya aku mendengar kabar yang tak kupercaya. Handphoneku berdering. Nama farhan yang kulihat namun yang bicara orang lain. Dia memberitahuku bahwa Farhan meninggal dalam kecelakaan yang dialaminya kemarin pukul setengah empat sore. Aku tak percaya karena sore itu Farhan masih bersamaku di danau dan memberiku lukisan itu.
Setelah melihat kuburannya yang basah serta nisan bertuliskan namanya baru aku percaya. Tubuhku bergidik, lalu siapa yang menemuiku sore kemarin? Perlahan air mataku meleleh. Belum sempat aku mengatakan perasaanku padamu tapi terimakasih kau tak mengingkari janjimu sore itu.

di bawah batu nisan kini kau tlah sandarkan kasih sayang kamu begitu dalam
 sungguh ku tak sanggup ini terjadi karna ku sangat cinta

ini lah saat terakhirku melihat kamu
 jatuh air mataku menangis pilu
 hanya mampu ucapkan selamat jalan kasih

satu jam saja ku telah bisa cintai kamu kamu kamu di hatiku
 namun bagiku melupakanmu butuh waktuku seumur hidup

satu jam saja ku telah bisa sayangi kamu di hatiku
 namun bagiku melupakanmu butuh waktuku seumur hidup
_______________________________
*Masuk 3 besar dalam event 100% cinta cerpen bersountrack

0 komentar:

Posting Komentar

Janganlah menjadi JAELANGKUNG yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar dengan tidak meninggalkan jejak anda dengan berkomentar :D